Bulir-bulir
airmata pramugari itu mengalir seiring kata-katanya yang terpatah-patah, “aku
ingin berhijab tadz”, begitu katanya. Hari itu, tanggal 28 februari aku ada di
lambung burung besi. Melompat dari satu kota ke kota yang lain, sebagaimana
biasanya. Entah mengapa aku tak pernah nyaman berada kecuali di kursi lorong,
enggan aku menengok jendela apalagi terjepit di tengah.
Dari
tempat dudukku, 33H, yang artinya tengah pesawat, aku bebas memandangi isinya
namun lebih tertarik pada buku yang baru kubeli. Tak lebih dari 3 hari kubaca,
aku sudah sampai halaman 75. Waktu terbaik membaca memang saat terbang pikirku.
Pramugari
melayani penumpang seperti biasa, “nasi ayam atau ikan? mau minum apa?”,
pertanyaan sama yang entah berapa kali kudengar. Aku tak bernafsu makan
mengingat lingkar perut yang terus mengkhawatirkan, kuputusan memesan secangkir
jus jambu merah kotakan saja.
Ritual
penerbangan selesai, aku pun larut lagi di lembaran tulisan. Tiba-tiba, ada
pramugari berlutut di sampingku seraya ucapkan salam. Wajahnya penuh
kekhawatiran, sepertinya dari tadi dia kumpulkan segenap kekuatan untuk
menyapaku, “assalamu’alaikum ustadz…”
Sebenarnya
malu aku dipanggil ustadz, ilmu belum ada apa-apanya, namun menjelaskan ke
satu-persatu orang juga menyulitkan. “Wa’alaikumussalam… ya mbak?”.
Lalu
dia pun memperkenalkan diri, katanya dia sudah bertanya berkali-kali lewat
email namun belum terbalas. Begitulah, kondisiku tak memungkinkan menjawab
email satu persatu. Ada ratusan yang meminta respon via FB, twit, email,
mustahil. Sebagai pengemban dakwah, penulis, pebisnis, ayah 4 anak dan suami
juga manusia biasa, waktu justru hal yang paling sulit dicari.
Pramugari
itu memperkenalkan diri, Putri nama samarannya, dia menanti jawaban. Sementara
penumpang lain melihatku, membuatku tak nyaman. Pramugari berbicara serius
dengan penumpang, bukan pemandangan yang kau lihat setiap hari. Karenanya, aku
terdorong untuk segera jawab.
“Setelah
turun saja ya mbak?” tawarku.
“Wah
saya terbang balik lagi setelah ini,” jelas Putri.
“Mmm…
enaknya gimana ya?” tanyaku. Seakan menanggapi pertanyaan ini, Putri balik
bertanya, “boleh minta hp ummi aja tadz?”.
Aku
kemudian menuliskan sederet nomor buat Putri, “ini mbak, silakan aja kalau mau
ngobrol”. Putri pergi dan aku asyik lagi menikmati bukuku.
Tak
lama lagi, Putri kembali menghampiriku. “Ustadz, boleh ngobrol di belakang?
temen-temen mau menyediakan ruang kok”. Jadilah aku dan Putri serta pramugari
lain berbicara di belakang kabin pesawat, dan ia pun memulai ceritanya dengan
terisak.
“Dulu
saya bangga jadi pramugari, tapi semenjak saya suka denger ceramah dan belajar
agama, saya jadi menyesal dan tertekan”. “Saya nggak bisa menaati Allah dengan
berhijab, dan saya sulit untuk shalat tadz… saya merasa menduakan shalat…”
tuturnya.
Saya
mendengarkan, tak memotong, walau pikiran saya berkelebat. Bukan saya tak tahu
gaya hidup pramugari, namun tetap mendengarkan. Putri kembali bercerita
keinginannya yang kuat untuk berhijab dan menaati Allah, bahkan selesai
bertugas ia mempertahankan berhijab.
“Saya
ingin untuk berhenti tadz dari pekerjaan ini, tapi saya dikenai penalti puluhan
juta, dan saya bukan orang berada”, isaknya lagi. “Belum lagi orangtua yang
malah mendukung dan bangga saat saya menjadi pramugari, saya takut mengecewakan
mereka”, tangisnya semakin jadi.
Sekitar
10 menit saya mendengarkannya, dengan teman-teman pramugarinya jadi saksi bisu.
MasyaAllah, ada hamba-Mu yang mau taat pada-Mu. Begitulah hati yang dekat bila
sudah mendekat pada Allah, khawatir akan dosanya, takut akan taubat yang
terlambat. Gengsi dan tingginya penghasilan tiada lagi dipedulikan, dia malu
saat auratnya terbuka, dia tak mau shalatnya diduakan.
“Apa
saya niatkan ke Allah bekerja sampai cukup membayar penalti itu tadz?”,
tekadnya mantap. MasyaAllah.
Menit-menit
berikutnya kugunakan untuk menyemangatinya dan mendukungnya, juga berbagai
alternatif solusi baginya. Tentang bahwa telah kukirim berbulan lalu surat pada
maskapainya untuk memperbolehkan hijab pramugari, tak kunjung direalisasi.
Bahwa kepolisian di negeri ini pun tak mencontohkan kebaikan, memang perjuangan
menuju kebaikan akan banyak tantangan.
Aku
malu pada diriku sendiri. Aku Muslim, namun tak mampu menolong dan berbuat
sesuatu untuk menolong saudaraku taat pada Allah. Sementara isak tangisnya,
jadi latar nasihatku. Tak juga kunjung selesai masalahnya, pramugari itu,
Putri, dia ingin berhijab.
Allah,
Allah, kami hamba-Mu memohon ampun. Kami hidup di bumi milik-Mu, tapi kami
sempitkan jalan orang yang mau taat pada-Mu. Kami makan rezeki-Mu, kami minta
ridha-Mu, kami menyembah pada-Mu, namun kami perhitungan dalam kebaikan yang
Engkau perintahkan.
Sekarang
kami dasarkan pembukaan undang-undang negeri ini dengan nama-Mu, tapi kami
ingkari kewajiban yang engkau wahyukan di kitab-Mu. Hari ini kepolisian
mempersulit kewajiban hijab, demikian pula maskapai penerbangan. Besok
mudah-mudahan Engkau buka hati mereka. Dan kami tahu ada ratusan pramugari lain
yang rindu taat pada-Mu. Berikanlah mereka kekuatan dan keberanian menyuarakan
kebenaran. Dan bagi kami yang mendengar isakan mereka untuk mau taat pada-Mu,
mudah-mudahan kami istiqamah dalam mendukung agama-Mu
akhukum, @felixsiauw
repost from : felixsiauw.com
0 komentar:
Posting Komentar