A.
PENDAHULUAN
Jurnalistik
media elektronik merupakan jenis kegiatan jurnalistik yang melibatkan dan
menggunakan media elektronik seperti televisi dan radio untuk menyiarkan,
menyebarluaskan, dan memenuhi kebutuhan informasi masyarakat. Kegiatan
jurnalistik media elektronik sebenarnya tidak jauh berbeda dengan jenis
jurnalistik media cetak, hanya saja pada jurnalistik media elektronik lebih
unggul pada penggunaan audio dan visual, terutama pada media televisi yang mana
masyarakat mampu melihat langsung keadaan/wujud dari suatu informasi yang
mereka butuhkan karena televisi menggunakan gabungan antara audio dan visual.
Berbicara
mengenai jurnalistik media elektronik, tentu kita akan berbicara juga tentang
kondisi pertelevisian di Indonesia. Perkembangan ranah pertelevisian Indonesia
berlangsung dengan sangat cepat, apalagi pada era yang semakin modern seperti
sekarang ini, pada era yang mana pers juga sudah mendapat kebebasan untuk
beroperasi dan menyiarkan segala informasi. Dunia pertelevisian di Indonesia
dimulai dengan berdirinya sebuah stasiun televisi pemerintah pada tahun 1989
yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI). Seiring berjalannya waktu lahirlah
berbagai stasius televisi swasta yang kian melengkapi dan ikut meramaikan dunia
pertelevisian Indonesia seperti SCTV, ANTV, RCTI, TRANS TV, TRANS 7, TV One,
GLOBAL TV, MNC TV, dll.
Pada
dasarnya semua stasiun TV memiliki tujuan yang sama untuk bisa memenuhi
kebutuhan dan preferensi Informasi masyarakat Indonesia. Namun, yang perlu untuk
diperhartikn juga yaitu mengenai nilai berita dari segala berita yang
disiarkan. Nilai sebuah berita ditentukan oleh seberapa jauh syarat-syarat
tertentu yang harus dipenuhinya. Syarat-syarat tersebutlah yang menjadi ukuran
penting tidaknya sebuah berita.
Kriteria
dalam menyeleksi sebuah berita sebenarnya memiliki tradisi ang panjang. Schediasma Curiosum de Lectione Novellarum, Christian
Weise (Dalam Kusumaningrat dan Kusumaningrat, 2005)[1]
mengemukakan bahwa pada tahun 1676 dalam memilih berita harus dipisahkan antara
yang benar dan yang palsu.[2]
Daniel Hartnack pada tulisannya Erachten
von Einrichtung der alten teutschen und neuen europaischen Historien[3] (Dalam Kusumaningrat
dan Kusumaningrat, 2005)[4]
juga memberikan penekanan pada unsur pentingnya peristiwa. Yang menentukan
apakah suatu berita bernilai untuk dilaporkan bukan terletak pada unsur dampak (consequence) dari peristiwanya. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa tentu ada kriteria-kriteria tertentu dalam
menentukan sebuah nilai berita.
B. PEMBAHASAN
Elemen Nilai Berita
Ishwara
mengemukakan dalam berita ada karakteristik intrinsik yang dikenal sebagai
nilai berita (News Value). Nilai
berita ini menjadi ukuran yang berguna, atau yang biasa diterapkan, untuk
menentukan kelayakan berita (newsworthy)[5]. Nilai berita
dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu nilai berita menurut pandangan lama dan
nilai berita menurut pandangan baru. Kusumaningrat dan Kusumaningrat[6]
mengemukakan bahwa nilai berita menurut pandangan lama dimulai pada tahun 1960
yang mana kala itu Tobias Peucer menulis disertasi yang termasuk pertama kali
tentang penerbitan suratkabar di Jerman. Peristiwa-peristiwa yang ada di surat
kabar tersebut sungguh tidak terhitung banyaknya, maka ia menyebutkan beberapa
kriteria yang menentukan nilai layak berita, diantaranya yang pertama seperti tanda-tanda tidak lazim,
benda-benda yang ganjil, hasil kerja atau produk alam dan seni yang hebat dan
tidak biasa, banjir atau badai yang disertai petir dan guruh yang mengerikan,
gempa bumi, sesuatu yang aneh dan muncul dengan tiba-tiba, serta penemuan baru
yang pada abad itu banyak terjadi. Yang kedua
mengenai berbagai jenis keadaan, berbagai perubahan, masalah perang dan
damai, pertempuran, kekalahan, rencana-rencana para pemimpin militer,
undang-undang baru, pertimbangan yang disetujui, kelahiran dan kematian
orang-orang terkenal dan upacara-upacara resmi. Kemudian yang ketiga adalah
mengenai masalah-masalah gereja dan keterpelajaran, bencana dan kematian, serta
seribu satu hal lainnya yang bertalian dengan alam, warga masyarakat, gereja,
atau sejarah keagamaan, karya tulis para sarjana, perselisihan ilmiah, dan
karya baru kaum terpelajar.
Kaspar
Stieler juga pada tahun 1965 berpendapat bahwa para penulis berita surat kabar
haruslah “orang yang dapat menceritakan hal-hal penting dan menjauhkan diri
dari hal-hal sepele”. Seperti dikemukakan oleh J. Wilke dalam tulisannya “Wie das Bild der Welt seinen Zusammenhag
verlor”,[7] Stieler sudah
menguraikan nilai-nilai berita ini secara jelas seperti kebaruan, kedeketan (proximity) geografis, implikasi dan
keterkenalan maupun negativism. Jadi, sejak akhir abad ke-17 itu, sebenarnya
para pemikir komunikasi sudah mampu merinci apa kriteria yang harus dipakai
dalam menetapkan apakah suatu kejadian itu memiliki nilai berita atau tidak.
Pandangan
modern mengenai nilai berita, sudah lebih disederhanakan dan disistematikkan
sehingga sebuah unsur kriteria mencakup jenis-jenis berita yang lebih luas.[8]
Unsur-unsur tersebut adalah[9]:
1.
Aktualitas
(Timeliness). Masyarakat biasanya
menghendaki agar berita yang ingin mereka ketahui cepat mereka ketahui, untuk
melegakan perasaan mereka ketika terjadi bencana, untuk dapat bertindak sebagai
warga masyarakat yang melek informasi pada saat-saat dibutuhkan. Semakin aktual
berita-beritanya, artinya semakin baru peristiwanya terjadi, semakin tinggi
nilai beritanya.
2.
Kedekatan
(Proximity). Peristiwa yang
mengandung unsur kedekatan dengan pembaca, akan menarik perhatian baik secara
geografis, fisik, maupun emosional. Selain menyukai hal-hal tentang dirinya,
manusia juga menyukai orang-orang yang dekat dengan dirinya seperti temannya,
keluarganya, atau tetangganya. Oleh karena itu, semakin dekat sebuah berita
dengan pembacanya, maka semakin menariklah berita tersebut.
3.
Keterkenalan
(Prominence). Biasanya berita duka
mengenai meninggalnya orang-orang penting dan terkenal akan muncul di layar
kaca kita dalam jangkat waktu tertentu. Hal tersebut dikarenakan kejadian yang
meyangkut tokoh terkenal (prominent
names) memang akan banyak menarik pembaca. Bahkan tempat-tempat terkenal,
tanggal-tanggal terkenal, dan situasi-situasi terkenal juga memiliki nilai
berita yang tinggi.
4.
Dampak
(Consequence). Sebuah berita juga
penting dilakukan pengukuran luasnya dampak dari suatu peristiwa. Peristiwa
yang memiliki dampak luas terhadap masyarakat, misalnya pengumuman kenaikan
harga BBM, memiliki nilai berita yang tinggi. Nilai berita juga banyak
ditentukan oleh pengaruh, akibat, dan dampak yang mungkin ditimbulkan terhadap
masyarakat luas. Dampaknya bagi kehidupan politik, sosial, dan ekonomi
merupakan hal yang patut diperhitungkan oleh setiap wartawan dalam memperoleh
berita[10].
5.
Daya
Tarik Kemanusiaan (Human Interest). Dalam
berita human interest terkandung
unsur yang menarik empati, simpati, atau menggugah perasaan khalayak yang
membacanya. Sekelompok besar berita yang unsur-unsur daya tariknya memikat
pembaca tentu mengandung salah satu
unsur human interest seperti
Ketegangan, Ketidaklaziman, Minat Pribadi, Konflik, Simpati, Kemajuan, Seks, Usia,
Binatang, dan Humor. Semakin itnggi daya tarik kemanusiaan sebuah berita, maka
semakin tinggi pula nilai berita
tersebut. Sesuatu yang menyentuh dan sangat menggugah rasa kemanusiaan
seseorang akan menambah nilai sebuah berita. Nilai sebuah berita akan bertambah
tinggi jika unsur human interest ini
dikelola dengan tepat[11].
Septiawan
Santana[12]
juga menyebutkan bahwa beberapa elemen nilai berita yang mendasari pelaporan
kisah berita. Diantaranya Immediacy/Timeless
yang berkaitan dengan kesegaran peristiwa yang dilaporkan; Proximity yang merupakan keterdekatan
peristiwa dengan pembaca atau pemirsa dalam keseharian hidup; Consequence yang merupakan berita yang
mengandung konsekuensi; Conflict yang
berisi peristiwa-peristiwa perang, demonstrasi atau criminal; Oddity yang merupakan peristiwa yang
tidak biasa terjadi atau sesuatu yang akan diperhatikan dengan segera oleh
masyarakat; Sex yang merupakan elemen
tambahan bagi pemberitaan tertentu seperti sports,
selebritis, atau kriminal; Emotion yang
kadang juga dinamakan human interest yang
menyangkut kesedihan, kemarahan, simpati, ambisi, cinta, kebencian,
kebahagiaan, atau humor; Prominence yang
merupakan unsur keterkenalan; Suspense yang
menunjukan sesuatu yang ditunggu-tunggu, terhadap sebuah peristiwa oleh
masyarakat; Progress yang merupakan
elemen “perkembangan” peristiwa yang ditunggu masyarakat.
Dari
klasifikasi tersebut pada dasarnya sama dengan klasifikasi yang diungkapkan
oleh Kusumaningrat dan Kusumaningrat akan nilai berita lama dan nilai berita
baru. Dan klasifikasi menurut Septiawan Santana tersebut termasuk dalam
kategori nilai berita baru. Jadi pada intinya, beberapa ahli akan menentukan
klasifikasi yang hampir sama pada aspek sebuah nilai berita.
Kualitas Berita Televisi
McQuail[13]
mengajukan kerangka kerja dalam memberikan penilaian terhadap kualitas media
(framework for assesment) yang terbagi atas empat kriteria yaitu : (a)
kebebasan media (freedom); (b) keragaman berita (diversity); (c) gambaran
realitas; (d) objektivitas berita.
Kebebasan
media merupakan prinsip dasar dari setiap teori mengenai komunikasi publik.
Kebebasan media juga menjadi sumber manfaat media massa lainnya. Kebebasan
media mengacu terutama pada hak-hak untuk menyatakan sesuatu secara bebas (free
expression) dan kebebasan dalam membentuk opini (the free formation of
opinion). Namun demikian, untuk dapat mewujudkan kebebasan media harus terdapat
akses bagi masyarakat menuju ke berbagai saluran informasi dan juga kesempatan
untuk menerima berbagai jenis informasi.
Prinsip
keragaman berita (diversity) adalah
upaya media untuk menyajikan berita yang lengkap dengan menggunakan prinsip
keadilan (fairness). Dalam hal ini,
prinsip keadilan atau fairness
dinilai berdasarkan pada principle of proportional
representation (prinsip keterwakilan secara proporsional). Media harus
menyajikan berita secara proporsional, berdasarkan topik-topik yang relevan
bagi masyarakat atau dengan kata lain, pemberitaan TV harus mampu mencerminkan
keragaman kebutuhan atau minat audien terhadap berita.
Bias
pada pemberitaan mengacu pada hal-hal, seperti terjadinya penyimpangan
(distorsi) terhadap realitas, memberikan gambaran negatif terhadap
kelompok-kelompok minoritas, mengurangi atau mengabaikan peran wanita dalam
masyarakat, atau mendukung partai politik atau filosofi tertentu. Berita yang
mengandung bias pada akhirnya akan menjadi berita bohong atau propaganda
sebagaimana sebuah cerita fiksi.
Menurut
McQuail, kualitas berita oleh media dapat dilakukan, antara lain dengan
melakukan analisis terhadap kelengkapan dan akurasi berita yang disampaikan
(prinsip objektivitas) Namun, untuk melakukan analisis terhadap kualitas
berita, perlu dipersiapkan sejumlah kriteria yang cermat. Salah satu konsep
penting dalam menilai kualitas suatu berita adalah sifat objektif berita
tersebut. Westerstahl dalam penelitiannya di Swedia mengemukakan pemberitaan
yang objektif harus memiliki dua kriteria yang dikemukakan oleh Morissan (Dalam
McQuail, 2000) yaitu:
a)
Faktualitas
Sifat faktual (faktualitas) mengacu pada bentuk
laporan berupa peristiwa atau pernyataan yang dapat diperiksa kebenarannya
kepada narasumber berita dan dapat membedakan dengan jelas antara fakta dan
komentar. Sifat faktualitas suatu berita mencakup keseimbangan, informatif dan
netralitas.
b)
Tidak Berpihak
Media harus memiliki sikap tidak memihak dengan cara,
antara lain menjaga jarak dan bersikap netral dengan objek pemberitaan. Sikap
ketidakberpihakan suatu media terdiri dari kebenaran dan relevan. Pemberitaan
di media massa memiliki hubungan yang kuat dengan opini publik. Masyarakat
memperoleh informasi melalui pemberitaan di media massa. Pengetahuan yang
diperoleh dari media massa, menjadi bahan pembicaraan diantara mereka. Ada
kalanya mereka mengembangkan gagasan itu untuk dijadikan bahan diskusi. Inilah
yang menjadi langkah awal terbentuknya opini publik.
Untuk
menambah kualitas dari berita televise tersebut tentu juga perlu memperhatikan
struktur berita televise yang biasanya terdiri dari lead atau teras berita dan body
atau tubuh berita. Strukturnya pun sama seperti struktur berita media cetak
yang membentuk piramida terbalik. Di sisi lain, agar berita memiliki daya
tarik, sebagiknya lead mengandung
unsur human interest sementara itu,
bagian tubuh berita atau body merupakan
uraian lebih terperinci dari lead[14].
Dalam berita televisi, lead biasanya
berupa apa yang dikatakan oleh penyiar/reporter, sementara body merupakan penjelasan dari berita tersebut.
Kondisi di Indonesia
Pandangan
McQuail pada dasarnya sudah tercakup dalam sejumlah peraturan perundangan
mengenai kode etik jurnalistik media massa di Indonesia, misalnya pada media
penyiaran televisi yang termuat dalam Undang-Undang No.32 Tahun
2002 tentang Penyiaran dan juga dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia
tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Terkait
dengan pemberitaan yang disiarkan stasiun TV, maka P3SPS menyatakan bahwa
stasiun penyiaran dalam menayangkan informasi harus senantiasa mengindahkan prinsip-prinsip jurnalistik, yang
terdiri atas tiga prinsip, yaitu (a) prinsip akurasi, (b) prinsip keadilan, (c)
prinsip ketidakberpihakan (imparsialitas)[15].
Berkaitan
dengan nilai berita dan kualitas berita televisi, menurut pandangan saya
pribadi, bentuk-bentuk berita di Indonesia sudah menganut pandangan baru dari
nilai berita. Hal tersebut, karena jenis berita di Indonesia juga sudah
terbagi-bagi dalam berbagai aspek dalam unsur-unsur yang sudah dikemukakan
sebelumnya. Sementara dalam aspek kualitas berita televisi lah yang mana di
Indonesia masih sering terjadi penyimpangan, seperti kurang objektifnya suatu
berita, adanya kebebasan media untuk menyiarkan berita yang berimplikasi pada
membludaknya berita dan informasi yang muncul serta adanya pemberitaan yang
berlebihan. Sementara itu, adanya keragaman berita di Indonesia juga banyak
menimbulkan ketidakadilan pada beberapa aspek yang akhirnya mampu menimbulkan
permasalahan lain di Indonesia, bahkan menimbulkan kerugian pada pihak-pihak
tertentu.
C. PENUTUP
Simpulan
Dari pembahasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa nilai berita merupakan unsur penting yang menentukan apakah
berita tersebut layak dipublikasikan atau tidak. Hal tersebut dikarenakan
banyaknya peristiwa yang terjadi di Indonesia haruslah disaring, agar tidak
terjadi sebuah penyiaran berita dan informasi yang berlebihan yang mampu
berimplikasi pada objektivitas berita tersebut hingga menimbulkan ketidakadilan
pada aspek lain.
Sebuah media terutama media
elektronik televisi, haruslah mampu memberikan penyiaran yang sesuai porsi
dalam memenuhi kewajibannya sebagai media yang menyediakan berbagai kebutuhan
dan preferensi informasi dan berita masyarakat. Dengan memperhatikan
unsur-unsur dari nilai berita diharapkan media mampu menjalankan kewajibannya
sesuai dengan tuntutan masyarakat dan tidak melanggar aturan dalam
penyiarannya.
DAFTAR PUSTAKA:
Barus, Sedia Willing. 2010. Jurnalistik:
Petunjuk Teknis Menulis Berita. Jakarta: Penerbit Erlangga
Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-catatan
Jurnalisme Dasar. Jakarta: PT Kompas Gramedia Nusantara
Komunikan,
Komunikasi. Mass Communication Theory
(Medium, Culture, and Society), 2012, Tersedia dalam: http://komunikasikomunikan.wordpress.com/2012/06/29/mass- communication-theory-medium-culture-and-society/ Diakses pada
26 Oktober 2014
Ks, Usman. 2009. Television News Reporting & Writing. Bogor:
Penerbit Ghalia Indonesia
Kusumaningarat, Hikmat dan
Kusumaningrat, Purnama. 2005. Jurnalistik
Teori dan Praktik, Bandung: PT
REMAJA ROSDAKARYA
McQuail,
Denis. 2000. Mass Communication Theory 4th ed.
London: Sage Publication
Santana K, Septiawan. 2005. Jurnalisme
Kontemporer. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
[1]
Hikmat Kusumaningarat dan Purnama Kusumaningrat. Jurnalistik Teori dan Praktik, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2005,
hlm 58
[2]
Michael Kunczik, Concept of Jurnalism,
North and South, Friedrich Ebert Sctichtung, Bonn, 1984 dalam Hikmat
Kusumaningarat dan Purnama Kusumaningrat. Jurnalistik
Teori dan Praktik, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2005
[3]
Michael Kunczik, Ibid.
[4] Hikmat
Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat,
Op.cit., 2005, hlm 58
[5] Luwi,
Ishwara, Catatan-catatan Jurnalisme
Dasar, Jakarta: PT Kompas Gramedia Nusantara, 2005, hlm 53
[6] Hikmat
Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Op.cit.,
2005, hlm 59
[7]
Dalam Forschungsmittellungen der DFG,
Issue 1, 1984 – terungkap dalam Michael Kunczik, Concets of Journalism, North and South, Friedrich Ebert Stichtung, Bonn, 1984, dalam Hikmat Kusumaningarat dan Purnama
Kusumaningrat. Jurnalistik Teori dan
Praktik, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2005
[8]
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Op.cit., 2005, hlm 61
[9] Loc.cit
[10]
Sedia Willing Barus, Jurnalistik:
Petunjuk Teknis Menulis Berita, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010, hlm 34
[11] Loc.cit
[12]
Septiawan Santana K, Jurnalisme
Kontemporer, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm 18.
[14]
Usman Ks, Television News Reporting &
Writing, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2009
0 komentar:
Posting Komentar