Minggu, November 09, 2014

Nilai dan Kualitas Berita Televisi serta Implementasinya di Indonesia

A.    PENDAHULUAN
            Jurnalistik media elektronik merupakan jenis kegiatan jurnalistik yang melibatkan dan menggunakan media elektronik seperti televisi dan radio untuk menyiarkan, menyebarluaskan, dan memenuhi kebutuhan informasi masyarakat. Kegiatan jurnalistik media elektronik sebenarnya tidak jauh berbeda dengan jenis jurnalistik media cetak, hanya saja pada jurnalistik media elektronik lebih unggul pada penggunaan audio dan visual,  terutama pada media televisi yang mana masyarakat mampu melihat langsung keadaan/wujud dari suatu informasi yang mereka butuhkan karena televisi menggunakan gabungan antara audio dan visual.
            Berbicara mengenai jurnalistik media elektronik, tentu kita akan berbicara juga tentang kondisi pertelevisian di Indonesia. Perkembangan ranah pertelevisian Indonesia berlangsung dengan sangat cepat, apalagi pada era yang semakin modern seperti sekarang ini, pada era yang mana pers juga sudah mendapat kebebasan untuk beroperasi dan menyiarkan segala informasi. Dunia pertelevisian di Indonesia dimulai dengan berdirinya sebuah stasiun televisi pemerintah pada tahun 1989 yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI). Seiring berjalannya waktu lahirlah berbagai stasius televisi swasta yang kian melengkapi dan ikut meramaikan dunia pertelevisian Indonesia seperti SCTV, ANTV, RCTI, TRANS TV, TRANS 7, TV One, GLOBAL TV, MNC TV, dll.
            Pada dasarnya semua stasiun TV memiliki tujuan yang sama untuk bisa memenuhi kebutuhan dan preferensi Informasi masyarakat Indonesia. Namun, yang perlu untuk diperhartikn juga yaitu mengenai nilai berita dari segala berita yang disiarkan. Nilai sebuah berita ditentukan oleh seberapa jauh syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhinya. Syarat-syarat tersebutlah yang menjadi ukuran penting tidaknya sebuah berita.
            Kriteria dalam menyeleksi sebuah berita sebenarnya memiliki tradisi ang panjang. Schediasma Curiosum de Lectione Novellarum, Christian Weise (Dalam Kusumaningrat dan Kusumaningrat, 2005)[1] mengemukakan bahwa pada tahun 1676 dalam memilih berita harus dipisahkan antara yang benar dan yang palsu.[2] Daniel Hartnack pada tulisannya Erachten von Einrichtung der alten teutschen und neuen europaischen Historien[3] (Dalam Kusumaningrat dan Kusumaningrat, 2005)[4] juga memberikan penekanan pada unsur pentingnya peristiwa. Yang menentukan apakah suatu berita bernilai untuk dilaporkan bukan terletak pada unsur dampak (consequence) dari peristiwanya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tentu ada kriteria-kriteria tertentu dalam menentukan sebuah nilai berita.
B.     PEMBAHASAN
Elemen Nilai Berita
            Ishwara mengemukakan dalam berita ada karakteristik intrinsik yang dikenal sebagai nilai berita (News Value). Nilai berita ini menjadi ukuran yang berguna, atau yang biasa diterapkan, untuk menentukan kelayakan berita (newsworthy)[5]. Nilai berita dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu nilai berita menurut pandangan lama dan nilai berita menurut pandangan baru. Kusumaningrat dan Kusumaningrat[6] mengemukakan bahwa nilai berita menurut pandangan lama dimulai pada tahun 1960 yang mana kala itu Tobias Peucer menulis disertasi yang termasuk pertama kali tentang penerbitan suratkabar di Jerman. Peristiwa-peristiwa yang ada di surat kabar tersebut sungguh tidak terhitung banyaknya, maka ia menyebutkan beberapa kriteria yang menentukan nilai layak berita, diantaranya yang pertama seperti tanda-tanda tidak lazim, benda-benda yang ganjil, hasil kerja atau produk alam dan seni yang hebat dan tidak biasa, banjir atau badai yang disertai petir dan guruh yang mengerikan, gempa bumi, sesuatu yang aneh dan muncul dengan tiba-tiba, serta penemuan baru yang pada abad itu banyak terjadi. Yang kedua mengenai berbagai jenis keadaan, berbagai perubahan, masalah perang dan damai, pertempuran, kekalahan, rencana-rencana para pemimpin militer, undang-undang baru, pertimbangan yang disetujui, kelahiran dan kematian orang-orang terkenal dan upacara-upacara resmi. Kemudian yang ketiga adalah mengenai masalah-masalah gereja dan keterpelajaran, bencana dan kematian, serta seribu satu hal lainnya yang bertalian dengan alam, warga masyarakat, gereja, atau sejarah keagamaan, karya tulis para sarjana, perselisihan ilmiah, dan karya baru kaum terpelajar.
            Kaspar Stieler juga pada tahun 1965 berpendapat bahwa para penulis berita surat kabar haruslah “orang yang dapat menceritakan hal-hal penting dan menjauhkan diri dari hal-hal sepele”. Seperti dikemukakan oleh J. Wilke dalam tulisannya “Wie das Bild der Welt seinen Zusammenhag verlor”,[7] Stieler sudah menguraikan nilai-nilai berita ini secara jelas seperti kebaruan, kedeketan (proximity) geografis, implikasi dan keterkenalan maupun negativism. Jadi, sejak akhir abad ke-17 itu, sebenarnya para pemikir komunikasi sudah mampu merinci apa kriteria yang harus dipakai dalam menetapkan apakah suatu kejadian itu memiliki nilai berita atau tidak.
            Pandangan modern mengenai nilai berita, sudah lebih disederhanakan dan disistematikkan sehingga sebuah unsur kriteria mencakup jenis-jenis berita yang lebih luas.[8] Unsur-unsur tersebut adalah[9]:
1.      Aktualitas (Timeliness). Masyarakat biasanya menghendaki agar berita yang ingin mereka ketahui cepat mereka ketahui, untuk melegakan perasaan mereka ketika terjadi bencana, untuk dapat bertindak sebagai warga masyarakat yang melek informasi pada saat-saat dibutuhkan. Semakin aktual berita-beritanya, artinya semakin baru peristiwanya terjadi, semakin tinggi nilai beritanya.
2.      Kedekatan (Proximity). Peristiwa yang mengandung unsur kedekatan dengan pembaca, akan menarik perhatian baik secara geografis, fisik, maupun emosional. Selain menyukai hal-hal tentang dirinya, manusia juga menyukai orang-orang yang dekat dengan dirinya seperti temannya, keluarganya, atau tetangganya. Oleh karena itu, semakin dekat sebuah berita dengan pembacanya, maka semakin menariklah berita tersebut.
3.      Keterkenalan (Prominence). Biasanya berita duka mengenai meninggalnya orang-orang penting dan terkenal akan muncul di layar kaca kita dalam jangkat waktu tertentu. Hal tersebut dikarenakan kejadian yang meyangkut tokoh terkenal (prominent names) memang akan banyak menarik pembaca. Bahkan tempat-tempat terkenal, tanggal-tanggal terkenal, dan situasi-situasi terkenal juga memiliki nilai berita yang tinggi.
4.      Dampak (Consequence). Sebuah berita juga penting dilakukan pengukuran luasnya dampak dari suatu peristiwa. Peristiwa yang memiliki dampak luas terhadap masyarakat, misalnya pengumuman kenaikan harga BBM, memiliki nilai berita yang tinggi. Nilai berita juga banyak ditentukan oleh pengaruh, akibat, dan dampak yang mungkin ditimbulkan terhadap masyarakat luas. Dampaknya bagi kehidupan politik, sosial, dan ekonomi merupakan hal yang patut diperhitungkan oleh setiap wartawan dalam memperoleh berita[10].
5.      Daya Tarik Kemanusiaan (Human Interest). Dalam berita human interest terkandung unsur yang menarik empati, simpati, atau menggugah perasaan khalayak yang membacanya. Sekelompok besar berita yang unsur-unsur daya tariknya memikat pembaca tentu mengandung  salah satu unsur human interest seperti Ketegangan, Ketidaklaziman, Minat Pribadi, Konflik, Simpati, Kemajuan, Seks, Usia, Binatang, dan Humor. Semakin itnggi daya tarik kemanusiaan sebuah berita, maka semakin tinggi pula  nilai berita tersebut. Sesuatu yang menyentuh dan sangat menggugah rasa kemanusiaan seseorang akan menambah nilai sebuah berita. Nilai sebuah berita akan bertambah tinggi jika unsur human interest ini dikelola dengan tepat[11].
            Septiawan Santana[12] juga menyebutkan bahwa beberapa elemen nilai berita yang mendasari pelaporan kisah berita. Diantaranya Immediacy/Timeless yang berkaitan dengan kesegaran peristiwa yang dilaporkan; Proximity yang merupakan keterdekatan peristiwa dengan pembaca atau pemirsa dalam keseharian hidup; Consequence yang merupakan berita yang mengandung konsekuensi; Conflict yang berisi peristiwa-peristiwa perang, demonstrasi atau criminal; Oddity yang merupakan peristiwa yang tidak biasa terjadi atau sesuatu yang akan diperhatikan dengan segera oleh masyarakat; Sex yang merupakan elemen tambahan bagi pemberitaan tertentu seperti sports, selebritis, atau kriminal; Emotion yang kadang juga dinamakan human interest yang menyangkut kesedihan, kemarahan, simpati, ambisi, cinta, kebencian, kebahagiaan, atau humor; Prominence yang merupakan unsur keterkenalan; Suspense yang menunjukan sesuatu yang ditunggu-tunggu, terhadap sebuah peristiwa oleh masyarakat; Progress yang merupakan elemen “perkembangan” peristiwa yang ditunggu masyarakat.
            Dari klasifikasi tersebut pada dasarnya sama dengan klasifikasi yang diungkapkan oleh Kusumaningrat dan Kusumaningrat akan nilai berita lama dan nilai berita baru. Dan klasifikasi menurut Septiawan Santana tersebut termasuk dalam kategori nilai berita baru. Jadi pada intinya, beberapa ahli akan menentukan klasifikasi yang hampir sama pada aspek sebuah nilai berita.
Kualitas Berita Televisi
            McQuail[13] mengajukan kerangka kerja dalam memberikan penilaian terhadap kualitas media (framework for assesment) yang terbagi atas empat kriteria yaitu : (a) kebebasan media (freedom); (b) keragaman berita (diversity); (c) gambaran realitas; (d) objektivitas berita.
            Kebebasan media merupakan prinsip dasar dari setiap teori mengenai komunikasi publik. Kebebasan media juga menjadi sumber manfaat media massa lainnya. Kebebasan media mengacu terutama pada hak-hak untuk menyatakan sesuatu secara bebas (free expression) dan kebebasan dalam membentuk opini (the free formation of opinion). Namun demikian, untuk dapat mewujudkan kebebasan media harus terdapat akses bagi masyarakat menuju ke berbagai saluran informasi dan juga kesempatan untuk menerima berbagai jenis informasi.
            Prinsip keragaman berita (diversity) adalah upaya media untuk menyajikan berita yang lengkap dengan menggunakan prinsip keadilan (fairness). Dalam hal ini, prinsip keadilan atau fairness dinilai berdasarkan pada principle of proportional representation (prinsip keterwakilan secara proporsional). Media harus menyajikan berita secara proporsional, berdasarkan topik-topik yang relevan bagi masyarakat atau dengan kata lain, pemberitaan TV harus mampu mencerminkan keragaman kebutuhan atau minat audien terhadap berita.
            Bias pada pemberitaan mengacu pada hal-hal, seperti terjadinya penyimpangan (distorsi) terhadap realitas, memberikan gambaran negatif terhadap kelompok-kelompok minoritas, mengurangi atau mengabaikan peran wanita dalam masyarakat, atau mendukung partai politik atau filosofi tertentu. Berita yang mengandung bias pada akhirnya akan menjadi berita bohong atau propaganda sebagaimana sebuah cerita fiksi.
            Menurut McQuail, kualitas berita oleh media dapat dilakukan, antara lain dengan melakukan analisis terhadap kelengkapan dan akurasi berita yang disampaikan (prinsip objektivitas) Namun, untuk melakukan analisis terhadap kualitas berita, perlu dipersiapkan sejumlah kriteria yang cermat. Salah satu konsep penting dalam menilai kualitas suatu berita adalah sifat objektif berita tersebut. Westerstahl dalam penelitiannya di Swedia mengemukakan pemberitaan yang objektif harus memiliki dua kriteria yang dikemukakan oleh Morissan (Dalam McQuail, 2000) yaitu:
a)      Faktualitas
Sifat faktual (faktualitas) mengacu pada bentuk laporan berupa peristiwa atau pernyataan yang dapat diperiksa kebenarannya kepada narasumber berita dan dapat membedakan dengan jelas antara fakta dan komentar. Sifat faktualitas suatu berita mencakup keseimbangan, informatif dan netralitas.
b)      Tidak Berpihak
Media harus memiliki sikap tidak memihak dengan cara, antara lain menjaga jarak dan bersikap netral dengan objek pemberitaan. Sikap ketidakberpihakan suatu media terdiri dari kebenaran dan relevan. Pemberitaan di media massa memiliki hubungan yang kuat dengan opini publik. Masyarakat memperoleh informasi melalui pemberitaan di media massa. Pengetahuan yang diperoleh dari media massa, menjadi bahan pembicaraan diantara mereka. Ada kalanya mereka mengembangkan gagasan itu untuk dijadikan bahan diskusi. Inilah yang menjadi langkah awal terbentuknya opini publik.
           
            Untuk menambah kualitas dari berita televise tersebut tentu juga perlu memperhatikan struktur berita televise yang biasanya terdiri dari lead atau teras berita dan body atau tubuh berita. Strukturnya pun sama seperti struktur berita media cetak yang membentuk piramida terbalik. Di sisi lain, agar berita memiliki daya tarik, sebagiknya lead mengandung unsur human interest sementara itu, bagian tubuh berita atau body merupakan uraian lebih terperinci dari lead[14]. Dalam berita televisi, lead biasanya berupa apa yang dikatakan oleh penyiar/reporter, sementara body merupakan penjelasan dari berita tersebut.

Kondisi di Indonesia
            Pandangan McQuail pada dasarnya sudah tercakup dalam sejumlah peraturan perundangan mengenai kode etik jurnalistik media massa di Indonesia, misalnya pada media penyiaran televisi yang termuat dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan juga dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Terkait dengan pemberitaan yang disiarkan stasiun TV, maka P3SPS menyatakan bahwa stasiun penyiaran dalam menayangkan informasi harus senantiasa  mengindahkan prinsip-prinsip jurnalistik, yang terdiri atas tiga prinsip, yaitu (a) prinsip akurasi, (b) prinsip keadilan, (c) prinsip ketidakberpihakan (imparsialitas)[15].
            Berkaitan dengan nilai berita dan kualitas berita televisi, menurut pandangan saya pribadi, bentuk-bentuk berita di Indonesia sudah menganut pandangan baru dari nilai berita. Hal tersebut, karena jenis berita di Indonesia juga sudah terbagi-bagi dalam berbagai aspek dalam unsur-unsur yang sudah dikemukakan sebelumnya. Sementara dalam aspek kualitas berita televisi lah yang mana di Indonesia masih sering terjadi penyimpangan, seperti kurang objektifnya suatu berita, adanya kebebasan media untuk menyiarkan berita yang berimplikasi pada membludaknya berita dan informasi yang muncul serta adanya pemberitaan yang berlebihan. Sementara itu, adanya keragaman berita di Indonesia juga banyak menimbulkan ketidakadilan pada beberapa aspek yang akhirnya mampu menimbulkan permasalahan lain di Indonesia, bahkan menimbulkan kerugian pada pihak-pihak tertentu.
           
C.    PENUTUP
Simpulan
            Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai berita merupakan unsur penting yang menentukan apakah berita tersebut layak dipublikasikan atau tidak. Hal tersebut dikarenakan banyaknya peristiwa yang terjadi di Indonesia haruslah disaring, agar tidak terjadi sebuah penyiaran berita dan informasi yang berlebihan yang mampu berimplikasi pada objektivitas berita tersebut hingga menimbulkan ketidakadilan pada aspek lain.
            Sebuah media terutama media elektronik televisi, haruslah mampu memberikan penyiaran yang sesuai porsi dalam memenuhi kewajibannya sebagai media yang menyediakan berbagai kebutuhan dan preferensi informasi dan berita masyarakat. Dengan memperhatikan unsur-unsur dari nilai berita diharapkan media mampu menjalankan kewajibannya sesuai dengan tuntutan masyarakat dan tidak melanggar aturan dalam penyiarannya.



DAFTAR PUSTAKA:

Barus, Sedia Willing. 2010.  Jurnalistik: Petunjuk Teknis Menulis Berita. Jakarta: Penerbit             Erlangga

Ishwara, Luwi. 2005.  Catatan-catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: PT Kompas Gramedia Nusantara

Komunikan, Komunikasi. Mass Communication Theory (Medium, Culture, and Society), 2012,     Tersedia dalam: http://komunikasikomunikan.wordpress.com/2012/06/29/mass-        communication-theory-medium-culture-and-society/ Diakses pada 26 Oktober 2014

 

Ks, Usman. 2009. Television News Reporting & Writing. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia

Kusumaningarat, Hikmat dan Kusumaningrat, Purnama. 2005. Jurnalistik Teori dan Praktik,         Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA

McQuail, Denis. 2000. Mass Communication Theory 4th ed. London: Sage Publication

Santana K, Septiawan. 2005.  Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia




[1] Hikmat Kusumaningarat dan Purnama Kusumaningrat. Jurnalistik Teori dan Praktik, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2005, hlm 58
[2] Michael Kunczik, Concept of Jurnalism, North and South, Friedrich Ebert Sctichtung, Bonn, 1984 dalam Hikmat Kusumaningarat dan Purnama Kusumaningrat. Jurnalistik Teori dan Praktik, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2005
[3] Michael Kunczik, Ibid.
[4] Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat,  Op.cit., 2005, hlm 58
[5] Luwi, Ishwara, Catatan-catatan Jurnalisme Dasar, Jakarta: PT Kompas Gramedia Nusantara, 2005, hlm 53
[6] Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Op.cit., 2005, hlm 59
[7] Dalam Forschungsmittellungen der DFG, Issue 1, 1984 – terungkap dalam Michael Kunczik, Concets of Journalism, North and South, Friedrich Ebert Stichtung, Bonn, 1984, dalam Hikmat Kusumaningarat dan Purnama Kusumaningrat. Jurnalistik Teori dan Praktik, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2005
[8] Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Op.cit., 2005, hlm 61         
[9] Loc.cit
[10] Sedia Willing Barus, Jurnalistik: Petunjuk Teknis Menulis Berita, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010, hlm 34
[11] Loc.cit
[12] Septiawan Santana K, Jurnalisme Kontemporer, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm 18.
[13] Denis McQuail, Mass Communication Theory 4th ed, London: Sage Publication, 2000
[14] Usman Ks, Television News Reporting & Writing, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2009

[15] Komunikasi-Komunikan, Mass Communication Theory (Medium, Culture, and Society), 2012, Tersedia dalam:

0 komentar:

Posting Komentar