NAMA : RESYA NUR INTAN PUTRI
NIM : F1C012028
MATA
KULIAH : SISTEM POLITIK INDONESIA
PRO
KONTRA RUU-KKG dan PEMBERIAN KUOTA bagi PERPOLITIKAN WANITA INDONESIA
- LATAR
BELAKANG
Banyak
orang beranggapan bahwa sejak dilaksanakannya pemilu 2004 silam akan membuat
kaum perempuan tersenyum. Sejak pencanangan kuota 30 persen sebagaimana yang
diatur dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, pasal 65 ayat 1, dianggap
memberi “angin segar” yang seolah mampu memanjakan perempuan untuk berkiprah di
dunia politik. Beberapa pihak menganggap kebijakan itu sebagai sesuatu yang
memanjakan perempuan, namun hal ini tidak lah lepas dari kontra, karena ada
pula yang menganggap bahwa ini sebagai suatu bahaya. Lalu timbulnya UU baru
mengenai kesetaraan dan keadilan gender, yaitu RUU-KKG (Rancangan Undang-Undang
Kesetaraan dan Keadilan Gender), juga berkaitan dengan masalah politik bagi
wanita Indonesia. Pro kontra terus bergulir akan adanya RUU-KKG ini. Bahkan
agama, terutama agama Islam turut berbicara karena memang memiliki keterkaitan.
Dilihat dari latar belakang historis, konsep
kesetaraan gender lahir dari pemberontakan perempuan Barat akibat
penindasan yang dialami mereka selama berabad-abad lamanya. Sejak zaman Yunani,
Romawi, dan Abad Pertengahan (the Middle Ages) , dan bahkan pada Abad
Pencerahan sekali pun. Kaum Barat menganggap wanita sebagai makhluk inferior,
manusia yang cacat, dan sumber dari segala kejahatan atau dosa. Hal itu
kemudian memunculkan gerakan perempuan Barat yang menuntut hak dan
kesetaraan perempuan dalam bidang ekonomi dan politik yang pada
akhirnya dikenal dengan sebutan feminis. Oleh karena itu dalam RUU tersebut
jelas terlihat semangat gerakan Feminisme Barat. Hal itu dapat terbaca dari
barometer yang digunakan untuk mengukur keterlibatan perempuan dalam wilayah
publik, yakni dengan pendekatan Gender Development Index. Artinya, jika indeks
partisipasi perempuan dalam pembangunan nasional berada dibawah standar yang
ditetapkan, maka tak ada jalan lain selain memaksa perempuan untuk memenuhi standar
tersebut.
- INTI MASALAH
Disebutkan
dalam RUU KKG Pasal 1 Ayat 1, “Gender adalah perbedaan peran fungsi dan
tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi
sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat
dipertukarkan menurut waktu, tempat dan budaya tertentu dari suatu jenis
kelamin ke jenis kelamin lainnya.” Dengan mengartikan bunyi dari pasal
tersebut, seolah berarti bahwa antara perempuan dan lelaki sama rata dalam
segala hal, bila dilihat dari perspektif Islam, UU ini seolah memberi contoh
kalau perempuan punya hak buat jadi imam shalat 5 waktu dan makmumnya
laki-laki. Karena RUU itu membolehkan persamaan gender. Dengan RUU, waris
disamakan, poliandri dan aborsi dibolehkan, gay, lesbian, perkawinan beda
agama, bisa menjadi bagian dari undang-undang.
Namun dilain pihak hal
ini dianggap sebagai suatu UU yang mampu melindungi hak perempuan. Ada 3 faktor
penting yang mendasari perumusan UU ini, menurut Andriea Salamun, Direktur
riset dan advokasi Lembaga Katalog Indonesia, pertama, banyaknya perempuan yang
menjadi korban kekerasan dibandingkan laki-laki seperti kekerasan rumah tangga,
korban perdagangan, kekerasan oleh majikan, korban pemerkosaan dan sebagainya.
Kedua, RUU KKG diperlukan guna mendorong upaya sementara peningkatan
kepemimpinan perempuan di berbagai bidang. Sebagai contoh, ada upaya yang telah
dilakukan dalam peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan pusat
maupun daerah dengan kebijakan kuota 30persen. Meskipun kuota itu belum terpenuhi
namun jumlah keterwakilan perempuan mengalami peningkatan. Ketiga, pencapaian
tujuan MDG’s. "Tugas Negara untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan
sekaligus melindungi hak-hak perempuan dengan membentuk UU KKG". Dan kuota
30 persen ini berkaitan dengan dirumuskannya RUU KKG karena dengan pemberian
kuota ini ada yang menganggap sebagai sebuah pemaksaan terhadap perempuan untuk
berkiprah di hadapan publik.
- PEMBAHASAN
Diberikannya kuota 30 persen
dalam ruang politik bagi wanita memang bukanlah tanpa alasan. Sekalipun negara
kita mengakui bahwa setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak
yang setara untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik dan publik, namun
kenyataannya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, eksekutif, dan
yudikatif masih sangat rendah. Rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga
legislatif ini berimplikasi pada terabaikannya kepentingan perempuan. Hal itu
antara lain terlihat dari tingginya kematian ibu akibat melahirkan, sistem UMR
yang ternyata menyebabkan perempuan menjadi kelompok yang paling dulu terkena
pemutusan hubungan kerja bila UMR dinaikan, rendahnya jaminan perlindungan hukum
bagi TKW, serta tidak adanya hukum untuk melindungi perempuan dari kekerasan
konflik maupun ruang pribadi di dalam rumah. Kondisi tersebut mendorong
beberapa pihak dalam memberikan kuota, karena perempuan memiliki kendala
seperti adanya kepercayaan perempuan untuk memasuki wilayah kehidupan politik
apabila harus bersaing dengan laki-laki, keharusan perempuan berperan ganda,
kehidupan politik yang dianggap kotor, penuh manipulasi, yang memunculkan
anggapan bahwa bidang ini lebih cocok untuk lelaki, dan lemahnya dukungan media
masa terhadap penyebarluasan potensi dan kontribusi yang dapat diberikan oleh
perempuan di bidang politik (Hidayat, dalam Wuryaningsih, dkk., 2003).
Sementara itu, Drude Dahlerup dari Departemen Ilmu Politik, Universitas
Stockholm, Swedia dalam seminar di Jakarta yang diselenggarakan oleh IDEA
(Institute for Democracy and Electoral Assistance) pada 24 september 2002,
menyebutkan bahwa alasan pentingnya diberikan kuota pada perempuan yaitu
pertama, perempuan adalah separuh dari populasi masyarakat. Kedua, perempuan
memiliki pengalaman biologis maupun yang dibentuk secara sosial dan kultural
berbeda dengan laki-laki. Ketiga, perempuan dan laki-laki memiliki kepentingan
yang berbeda sehingga laki-laki tidak bisa mewakili perempuan. Dan yang
keempat, perempuan di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif bisa menjadi
peran model, sehingga perempuan lain bisa mencontoh mereka untuk aktif berperan
di ruang politik.
Atas alasan-alasan yang
dikemukakan diatas, kebijakan pemberian kuota 30 persen terhadap perempuan
dalam ranah politik tidak bisa dibilang sebagai hal untuk memanjakan perempuan.
Justru kebijakan tersebut bisa dijadikan sebagai “barang dagangan’ oleh partai
politik yang ingin meraup simpati dari para pemilih perempuan dengan pemilih
terbesar, mengingat bunyi pasal 65 ayat 1 UU. No 12 Tahun 2003 yang menyebutkan
bahwa “Setiap partai politik peserta
pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya 30persen” itu tidak jelas dan multitafsir,
serta tidak mencantumkan sanksi bagi partai politik yang melanggar. Atas hal
tersebut menyebabkan masalah baru, yaitu banyak parpol yang tetap tidak
mengikutsertakan perempuan dalam bagian dari parpol itu sendiri dengan alasan
kesulitan untuk mengajak perempuan, karena aktivis perempuan dinilai langka.
Dan pro kontranya terhadap hal ini adalah adanya anggapan bahwa apabila
perempuan dilibatkan kedalam dunia politik, bagaimana nasib keluarga dan
anak-anaknya nanti? Disisi lain, ada pula anggapan bahwa perempuan penting
dilibatkan kedalam poitik demi menjamin segala kebutuhan dan kepentingan
perempuan masa kini, contohnya seperti layanan kesehatan dan pendidikan bagi
perempuan, yang semua itu diharapkan dapat memberikan jalan keluar atas masalah
tersebut apabila benar-benar dikendalikan oleh perempuan.
Perjuangan perempuan sesungguhnya
telah dimulai jauh sebelum Republik
Indonesia merdeka. Hal ini ditunjukkan dengan berdirinya organisasi-organisasi
perempuan yang berkontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia. Misalnya,
organisasi Pawijatan Wanita di Magelang yang didirikan pada tahun 1915 dan
PIKAT (Perantaraan Ibu kepada Anak Temurun) yang dibentuk di Manado pada tahun
1917. Pada masa Orde Lama, selain organisasi juga muncul beberapa nama
perempuan yang berkiprah dalam bidang politik, antara lain Kartini Kartaradjasa
dan Supeni, dua nama yang terkenal dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Namun
pada transisi dari orde lama menuju orde baru organisasi-organisasi perempuan
justru dianggap sebagai elemen yang harus diawasi atas nama kepentingan Negara
serta adanya penghancuran terhadap Gerakan Wanita Indonesia. Sedangkan pada
Orde Baru organisasi
perempuan disentralisasi oleh negara di bidang “keperempuanan”. Perempuan
berperan sebagai istri pendamping suami, pendidik anak dan pembina generasi muda,
serta pengatur ekonomi rumah tangga. Kalaupun ada perempuan yang bekerja di
luar rumah, hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Selain itu, kiprah
perempuan di luar rumah juga difokuskan pada aktivitas sosial dan penyumbang
tenaga pada masyarakat. Hal ini, tentu saja, semakin melanggengkan budaya
patriarki.
Dorothy W.
Cantor dan Toni Bernay bersama Jean Stoess dalam buku Women In Power
menceritakan seorang Politikus wanita yang berhasil asal Amerika Serikat,
Barbara Gallagher. Dimana Barbara mengatakan saat itu bahwa alasannya berkiprah
di dunia politik adalah karena Barbara berada di ruang waktu yang tepat. Yang
dimaksud ruang waktu yang tepat adalah adanya lowongan di dewan pendidikan.
Ketika pejabat di lembaga itu menolak untuk dipilih kembali, beberapa tokoh
masyarakat yang snagat dihormati mendorong Barbara untuk mencalonkan diri
mengisi jabatan itu. Sebenarnya berbagai cemoohan kerap diterimanya saat itu.
Hingga akhirnya Barbara mampu memenangkan pemilihan itu dan dia mengawali
karier politiknya sebagai relawan pemerhati masalah pendidikan dan kemudian
menjadi pelobi isu pendidikan. Kekuatan di balik aktivitas politiknya adalah
hasrat untuk menolong orang lain dan melayani masyarakat. Ia senang memperoleh
pengakuan dan sorotan, dan ia bersemangat sewaktu diminta sebagai anggota dewan
sekolah. Selain itu ia dinilai bekerja dengan sangat baik, karena ia bisa
diandalkan dalam isu yang berkaitan dengan keluarga dan wanita. Namun sering
kali rancangan undang-undang yang ia dukung mengalami kemacetan karena tidak
tercapai kesepakatan. Barbara masih ingat, bagaimana ia berupaya memperoleh
dukungan untuk UU tentang Cuti Keluarga dan Cuti Kesehatan. Seorang anggota
kongres justru mengejek rancangan tersebut dengan “Apa yang bisa diandalkan
dari seorang wanita.” Yang lain juga mencemooh rancangan UU tersebut sebagai
peraturan yang akan merugikan industry Amerika.
Atas hal
tersebut terlihat bahwa kaum pria masih memandang rendah wanita dalam kancah
politik, kebanyakan pria menganggap bahwa wanita memang seharusnya mengurus
keluarga saja. Tapi faktanya, Barbara mampu membuktikan kemampuannya dalam
menangani hal-hal yang menjadi tanggung jawabnya walaupun Ia harus mengorbankan waktu bersama teman-teman
sekalipun karena banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan. Atas hal tersebut
pula penulis menegaskan bahwa kekuasaan wanita mencakup nalar, tujuan, dan
agenda yang hendak dicapai. Kekuasaan semacam ini sangat bertolak belakang
dengan kecenderungan pria yang memasuki arena politik agar berkuasa dan
berpengaruh tanpa berbekal agenda tertentu di benaknya. Sidney Verba, dari
Universitas Harvard, berpendapat, sumbangan terpenting bagi kaum wanita
terhadap dunia politik adalah bahwa mereka lebih berminat mengerjakan sesuatu
yang bermanfaat bagi masyarakat daripada memperluas lingkup kekuasaan mereka
sendiri.
Jadi,
adanya penetapan kuota tersebut masih dinilai sebagai syarat bukanlah
kebutuhan. Banyaknya pro kontra atas kuota tersebut juga menjadikan keputusan
ini masih terhambat pelaksanannya. Ada pula yang menilai bahwa penetapan kuota
itu sebagai bentuk pelecehan terhadap perempuan karena
partai peserta pemilu hanya memprioritaskan jumlah atau kuantitas, tidak
memerhatikan kualitas, seharusnya parpol bersaing secara kualitas bagi
perempuan dan laki-laki, itulah yang nanti akan membuat maju. walaupun
sebenarnya pasti banyak perempuan yang mampu menjalani perpolitikan dengan
baik, tapi tetap hal seperti ini menjadi jalan terjal untuk menggapai wilayah
publik dengan berbagai alasan yang sudah dikemukakan sebelumnya.
Berkaitan dengan
masalah tersebut, munculah RUU-KKG, suatu Rancangan Undang-Undang yang
berkaitan dengan kesetaraan gender. RUU ini lahir didasari oleh 2 hal, yakni
perlindungan dan pemberdayaan perempuan. Banyak fakta yang menunjukan bahwa
kaum perempuan mengalami berbagai diskriminasi, kekerasan, hingga
ketidakadilan. Beranjak dari spirit ini RUU-KKG muncul sebagai upaya melindungi
serta memberdayakan kaum perempuan. Namun dilain sisi, RUU-KKG ini juga
dipandang sebagai sarana membangkitkan semangat perempuan di dunia perpolitikan.
Hanya saja yang menjadi masalah adalah bunyi dalam pasal 65 ayat 1 UU. No 12
Tahun 2003. Bahwa, makna menikmati dan berpartisipasi dalam pembangunan
haruslah dilakukan oleh perempuan dalam bentuk aktif di luar rumah. Aktivitas
perempuan sebagai istri pendamping suami dan pendidik anak-anaknya di rumah,
tidak dinilai sebagai bentuk partisipasi dalam pembangunan. Rumusan definisi
Gender, Kesetaraan dan Keadilan Gender, serta pemaksaan peran perempuan dalam
porsi tertentu di ruang publik, dalam RUU KKG ini, sejalan dengan gagasan kaum
Marxian yang memandang keluarga dimana laki-laki sebagai pemimpinnya sebagai
bentuk penindasan terhadap kaum perempuan. Jadi, RUU-KKG ini justru dipandang
sebagai pengahancuran kiprah politik wanita yang sesungguhnya, karena banyak
kemungkinan yang akan terjadi apabila wanita benar-benar dipaksa untuk tampil
dalam publik, terutama kemungkinan masalah dalam keluarga dan pengasuhan anak.
Perbedaan peran fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan
perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak
tetap dan dapat dipelajari tidaklah sepenuhnya salah, hanya saja perlu untuk
diluruskan agar tidak terjadi pengarusutamaan gender jika hanya dijalankan
tanpa memperhatikan peran-peran perempuan sebagai generasi mendatang, dan jika
RUU KKG diberlakukan tanpa adanya kesiapan serta kematangan mental perempuan
juga kurangnya pengetahuan tentang hakikat sebenarnya seorang perempuan dikhawatirkan
akan merusak tatanan kehidupan. Oleh karena itu, sesungguhnya yang perlu
diperhatikan adalah keadilan, bukan kesetaraan. Jika kesetaraan meniscayakan
pembagian yang sama rata antara laki-laki dan perempuan, keadilan tidak hanya
sekedar itu. Keadilan juga mengehendaki pembagian yang sesuai dengan porsi dan peran
yang memang telah disepakati antara laki-laki dan perempuan. Adil tidaklah
harus 50:50, adil itu berarti memberikan sesuatu sesuai kebutuhan. Yang
terpenting adalah menghargai dan menyadari bahwa antara perempuan dan laki-laki
perlu ada pembagian tugas yang jelas dan dipahami oleh masing-masing pihak,
agar tidak ada pemaksaan peran.
Dengan demikian,
perjuangan perempuan dalam upaya menegakkan kesetaraan gender masih jauh dari
harapan. Peningkatan jumlah anggota dewan perempuan dari periode ke periode belum
mampu mengentaskan kaumnya dari ketidaksetaraan gender yang dialami. Oleh
karena itu, perjuangan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender tidak dapat
dilakukan oleh kaum perempuan sendiri, melainkan diperlukan kerjasama dengan
entitas sosial lain yang memiliki kepekaan terhadap persoalan perempuan (gender
sensitivity). Selain itu, perjuangan tersebut juga memerlukan upaya yang
sistematis, terprogram, dan berkesinambungan pada semua sisi pembangunan.
Disamping itu, perjuangan tersebut juga memerlukan komitmen bersama dari para
pengambil keputusan, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, kaum
cendekiawan, beserta seluruh elemen masyarakat dalam rangka mengeliminasi
berbagai kendala kultural, struktural, dan instrumental dalam upaya mewujudkan
kesetaraan gender di semua lini kehidupan.
Atas hal tersebut
menurut saya sebenarnya tidak mengapa perempuan berkiprah di dunia politik,
hanya saja tidak perlu terlalu dipaksa dalam memenuhi kuota dalam parpol.
Selain memang terkadang menyulitkan parpol dalam menjaring aktivis perempuan,
perempuan juga memiliki tanggung jawab yang sesungguhnya dalam pengurusan
keluarga dan anak-anak. Seperti hal nya Rieke Diah Pitaloka, seorang politisi
wanita Indonesia, beliau mengaku bahwa sang suami mendukung kiprahnya di dunia
politik selama itu positif, mereka saling mendukung profesi satu sama lain, dan
untuk masalah pengasuhan anak, sang suami tak keberatan untuk mengasuh anak
saat Rieke sibuk. Jangankan dalam politik, untuk urusan karir kini memang
banyak wanita yang meraup kesuksesan. Namun itu semua kembali pada diri
masing-masing, apabila seorang wanita sudah memutuskan untuk mengisi kehidupan
mereka dengan berkarir, entah itu dalam bidang apapun, mereka juga harus tetap
membagi waktu terhadap keluarga ataupun urusan pribadi mereka.
DAFTAR PUSTAKA :
W. Cantor , Doroty. 1998. Women in
Power, Kiprah Wanita dalam Dunia Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Rosyadi, Slamet, dkk. 2004. Prospek
Pemilu 2004: Peluang dan Tantangan Menuju Indonesia Baru. Purwokerto: Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Harian Suara Merdeka, Rabu, 10 April
2013 oleh Misbaul Ulum, pengajar Monash Institute Semarang, Pembina Pusat
Kajian Islam dan Feminisme IAIN Walisongo Semarang.
1 komentar:
keren makalahnya, cara perkasa kediri
Posting Komentar