ANTUSIASME
REMAJA TERHADAP KESENIAN TRADISIONAL BEGALAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam Era Globalisasi atau era modern seperti
sekarang ini kesenian tradisional mulai terpinggirkan tak terkecuali kesenian
tradisional Banyumas yang berangsur-angsur mulai punah bahkan yang paling dikhawatirkan yaitu apakah
masyarakat Banyumas 50 tahun ke depan masih bisa menyaksikan kesenian daerahnya
sendiri seperti lengger, calung, ebeg, kenthongan, buncis, begalan, ujungan,
dhames, dan sebagainya. Bisa dikatakan bahwa beberapa kesenian tradisional
Banyumas berada dalam kondisi dilematis, hidup enggan mati tak mau. Pada
kenyataanya masih ada sebagian sisi dari masyarakat yang memiliki minat untuk
berkesenian. Namun di lain sisi perhatian dan pembinaan kesenian oleh
pemerintah atau instansi terkait sangat kurang dan memprihatinkan menyebabkan
terjadinya kemunduran dan Indikatornya adalah makin jarang kelompok yang
mementaskan kesenian tradisional Banyumas.
Salah satu tradisi upacara tradisional yang masih
bertahan di Banyumas adalah upacara Begalan. Tradisi Begalan adalah jenis
kesenian yang biasanya dipentaskan dalam rangkaian upacara perkawinan yaitu
saat calon pengantin pria beserta rombongannya memasuki pelataran rumah
pengantin wanita. Disebut begalan karena atraksi ini mirip perampokan yang
dalam bahasa Jawa disebut begal. Yang menarik adalah dialog-dialog antara yang
dibegal dengan si pembegal biasanya berisi kritikan dan petuah bagi calon
pengantin dan disampaikan dengan gaya yang jenaka penuh humor. Upacara
ini diadakan apabila mempelai laki-laki merupakan putra sulung. Begalan
merupakan kombinasi antara seni tari dan seni tutur atau seni lawak dengan
iringan gending. Sebagai layaknya tari klasik, gerak tarinya tak begitu terikat
pada patokan tertentu yang penting gerak tarinya selaras dengan irama gending.
Jumlah penari 2 orang, seorang bertindak sebagai pembawa barang-barang
(peralatan dapur), seorang lagi bertindak sebagai pembegal/perampok.
Barang-barang yang dibawa antara lain ilir, ian, cething, kukusan, saringan
ampas, tampah, sorokan, centhong, siwur, irus, kendhil dan wangkring. Barang
bawaan ini biasa disebut brenong kepang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah dan jalannya upacara tradisi Begalan?
2. Bagaimana
antusiasme remaja terhadap kesenian tradisional khusunya begalan di era
globalisasi seperti saat ini dan
seberapa besarkah pengaruh antusiasme remaja tersebut terhadap eksistensi atau
keberlangsungan kesenian Begalan?
C. Tujuan Penulisan
Bertolok dari rumusan masalah di atas maka tujuan
penulisan yang ingin dicapai yaitu mengetahui seperti apa kesenian tradisional Begalan
itu baik dari segi sejarah dan ciri khasnya. Tujuan selanjutnya yaitu guna
mengetahui bagaimana antusiasme remaja terhadap kesenian tradisional khusunya
ebeg di era globalisasi seperti saat ini serta dapat pula mengetahui seberapa
besarkah pengaruh antusiasme remaja terhadap eksistensi atau keberlangsungan upacara
tradisional Begalan.
D.
Hasil
dan Pembahasan
Begalan
memang suatu upacara tradisional yang sudah diwariskan secara turun temurun
oleh nenek moyang masyarakat Banyumas dan merupakan upacara tradisional yang
penting diadakan terutama bagi pernikahan anak pertama. Upacara tradisional
Begalan bukanlah upacara tradisional yang sembarangan. Ada berbagai penjelasan
dan filosofi terhadap segala tindakan sang pembegal serta alat-alat yang
digunakan Menurut para pakar budaya di Banyumas, tradisi
begalan muncul sejak Pemerintah Bupati Banyumas ke XIV, saat itu Raden Adipati
Tjokronegoro (tahun 1850). Pada jaman itu Adipati Wirasaba berhajat mengawinkan
putri bungsunya Dewi Sukesi dengan Pangeran Tirtokencono, putra sulung Adipati
Banyumas. Satu minggu setelah pernikahannya Sang Adipati Banyumas berkenan
memboyong kedua mempelai dari Wirasaba ke Kadipaten Banyumas (ngunduh temanten),
berjarak kurang lebih 20 km. Setelah menyeberangi sungai Serayu dengan menggunakan
perahu tambang, rombongan yang dikawal sesepuh dan pengawal Kadipaten Wirasaba dan
Banyumas, di tengah perjalanan yang angker dihadang oleh seorang begal
(perampok) berbadan tinggi besar, hendak merampas semua barang bawaan rombongan
pengantin. Terjadilah peperangan antara para pengawal melawan Begal raksasa
yang mengaku sebagai penunggu daerah tersebut.Pada saat pertempuran akhirnya
begal dapat dikalahkan. Kemudian lari menghilang masuk ke dalam Hutan yang
angker dan wingit. Perjalanan dilanjutkan kembali, melewati desa Sokaweradan
Kedunguter. Sejak itu para leluhur daerah Banyumas berpesan terhadap anak cucu
agar mentaati tata cara persyaratan perkawinan, dikandung maksud kedua mempelai
terhindar dari marabahaya.
Peraga Begalan
Tarian Begalan
dibawakan oleh dua pemain pria yang dilakukan berpasangan. Seorang bertindak
sebagai pembawa barang-barang (peralatan dapur) dan seorang bertindak
sebagai begal 'perampok'. Begalan
ini membawakan dialog dengan gaya jenaka yang isinya berupa petuah-petuah
penting bagi kedua mempelai atau penonton pertunjukan begalan tersebut. Nama
tokoh dalam setiap grup begalan dapat
berbeda-beda. Mereka dapat menciptakan nama pemain sendiri sesuai selera,
terdapat beberap nama tokoh yang sering dipakai dalam pertunjukan begalan yaitu Surantani, Sabdaguna, Guna
(sebagai korban dalam perampokan) dan Surandenta, Rekadaya, Karya (sebagai
perampok). Nama tersebut memiliki maksud seperti Sabdaguna yaitu semua yang
diucapka mengandung nasehat yang berguna. Rekadaya berarti usaha/upaya. Karya
berarti kerja sedangkan Guna adalah berguna.
Ubarampe Begalan
Materi atau peralatan yang dibutuhkan dalam
pementasan Begalan ini antara lain adalah:
1. perkakas
begalan;
Perkakas yang dipergunakan dalam
kesenian begalan mengandung unsur simbolik. Simbol merupakan unit atau bagian
terkecil dalam ritual yang mengandung makna dari tingkahlaku ritual yang
bersifat khusus. Berikut beberapa perkakas begalan beserta simbolnya:
a. pikulan
(mbatan/wangkring);
Pikulan atau mbatan merupakan alat
pengangkat brenong kepang bagi peraga Surantani (Pihak yang dibegal). Alat ini
terbuat dari bambu. Pikulan melambangkan bahwa seorang laki-laki atau perempuan
yang akan menikah harus dipertimbangkan dahulu bibit, bebet, dan bobotnya
sehingga tidak menyesal dikemudian hari. Selain itu pikulan juga berarti bahwa
nanti jika seseorang telah menikah, hendaknya segala suka dan duka dirasakan
dan dipikul secara bersama-sama agar semuanya terasa lebih ringan.
b. wlira
(Pedang Wlira);
Alat yang digunakan untuk memukul
salah satu alat-alat dalam brenong
kepang. Wlira terbuat dari kayu
panjangnya kurang lebih 1m, tebal 2cm, lebar 4cm. Pembawa alat ini adalah dari
pihak pembegal atau Surandenta.
Surandenta dan pedang wlira menggambarkan seorang laki-laki yang bertanggung
jawab berani menghadapi sesuatu yang menyangkut keselamatan keluarga.
c. brenong kepang;
Brenong kepang yaitu paralatan yang
di bawa oleh Surantani utusan dari pihak pria yang berupa alat-alat dapur,
seperti:
1)
ian
yaitu
anyaman bambu panjangnya kurang lebih 1m berbentuk bujur sangkar. Merupakan
alat untuk angi nasi. Melambangkan bumu tempat kita berpijak;
2)
ilir
yaitu anyaman bambu panjang dan lebarnya 35cm dan diberi tangkai sebagai alat
untuk pegangan. Melambangkan seseorang
yang sudah berkeluarga agar dapat membedakan mana perbuatan yang baik dan mana
yang buruk;
3)
cething
yaitu alat yang digunakan sebagai tempat nasi, terbuat dari anyaman bambu.
Maksudnya adalah manusia hidup di bumi dan di tengah masyarakat tidak boleh
sekehendak sendiri tanpa menghiraukan lingkungan dan sesame makhluk hidup;
4)
kukusan
yaitu alat penanak nasi yang dibuat dari anyaman bambu, berbentuk kerucut. Alat
ini melembangkan bahwa aseorang yang sudah berani hidup berumah tangga harus
berani berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya walaupun harus merasakan
sesuatu yang kurang menyenangkan atau kurang diharapkan;
5)
centhong
yaitu
alat yang terbuat dari kayu atau tempurung kelap, berfungsi untuk mengambil
nasi. Maksudnya seseorang yang sudah berrumah tangga harus mau mengoreksi diri
(introspeksi diri)sehingga jika ada perselisihan antara kedua belah pihak dapat
segera diselesaikan. Selalu mengadakan musyawarah untuk mencapai mufakat
sehingga terwujud keluarga yang sejahtera bagahia lahir dan batin;
6)
irus
yaitu Alat yang terbuat dari kayu atau tempurung kelapa, berfungsi untuk
mengambil atau mengaduk sayur. Maksudnya adalah seseorang yang sudah berumah
tangga janganlah senang mengambil orang lain atau tergiur dengan pria/wanita
lain karena akan menyebabkan keretakkan dala rumah tangga;
7)
siwur yaitu alat yang terbuat dari tempurung kelapa
yang diberi sedikit lubang pada bagian tengah dan kemudian diberi tangkai dari
bambu atau kayu, berfumgsi untuk mengambil air. Siwur merupakan kerata
basa 'akronim' dari kata asihe aja di
awur-awur artinya orang yang sudah
berrumah tangga harus dapat mengekang hawa napsu jangan suka menabur benih
kasih sayang kepada wanita/pria lain. Sehingga tidak menimnulkan goncangan
rumah tangga agar bahtera rumah tangganya dapat selamat.
Busana
Kostum dalam pementasan seni
begalan sangat sederhana dan tidak
terlalu menuntut pada bahan-bahan yang mahal, warna-warna yang gemerlap ataupun
model yang aneka ragam. Mereka cukup menggunakan pakaian adat Jawa. Pakaian
yang biasanya dikenakan para pemain begalan antara lain adalah: Baju koko
hitam, Stagen dan sabuk, Celana komprang hitam, Kain jarik atau sarung, Sampur,
Iket wulung hitam.
Musik/ Iringan
Pentas kesenian begelan menggunakan musik dan
iringan. Gendhing-gendhing Jawa yang biasanya digunakan untuk mengiringi
pementasan ini antara lain adalah: Ricik-ricik Banyumasan, Gunung Sari Kalibagoran,
Renggong kulon, Pisang balik, dan Eling-eling Banyumasan.
http://ilalang2senja.blogspot.com/2012/08/kesenian-begalan.html6/16/2013
3:00:28 PM
Begalan
bisa dikatakan sebagai kesenian tradisional yang hampir punah, karena
eksistensinya yang mulai terancam. Hal ini dapat dilihat dari jarangnya
pertunjukan begalan di daerah perkotaan dan faktanya memang kesenian ini lebih
sering ditemukan di lingkungan masyarakat pedesaan. Kesenian yang sudah
diwariskan secara turun temurun ini sebenarnya tak sepantasnya punah, hanya
karena intensitas dilakukannya semakin menurun. Memang, jaman berkembang
semakin modern, yang banyak orang berpikir akan tidak lagi diperlukannya
kesenian semacam itu. Hal ini tentu saja dapat mempengaruhi persepsi dan
pengetahuan tentang tradisi begalan pada remaja Banyumas. Padahal, seharusnya
remaja-lah yang melestarikan tradisi yang dilakukan pada upacara pernikahan ini
mengingat tradisi ini mengandung banyak makna positif yang disimbolkan dengan
berbagai alat yang menjadi sebuah pengharapan terhadap kehidupan rumah tangga
sang pengantin baru kelak.
Berbicara
mengenai antusiasme remaja Banyumas terhadap upacara tradisional begalan,
penelitian yang kami lakukan mendapatkan hasil yang cukup bervariasi terhadap
antusiasme remaja Banyumas. Remaja asli Banyumas pada umumnya memang mengetahui
tentang begalan, terutama remaja yang berada di Desa Sokaraja seperti Sofia
Hidayatun. Remaja 16 tahun yang mengenyam pendidikan di SMK N 1 Banyumas ini
mengetahui mengenai peraga dan ubarampae begalan.
Ia mengaku bahwa tradisi begalan ini Ia ketahui melalui media pendidikan,
seperti buku serta lingkungan sekitar yang memang masih menjalankan tradisi
begalan dalam upacara pernikahan. Diketahui bahwa antusiasme Sofi sangat tinggi
terhadap tradisi begalan tersebut. Hal ini dapat disimpulkan dari pengetahuan
yang Ia kuasai mengenai tradisi begalan, bahkan hingga mitos mengenai begalan
sekalipun. Meskipun keberadaan begalan hampir punah, Sofi berpendapat bahwa
tradisi ini harus terus dilestarikan karena sudah diwariskan secara turun
temurun. Caranya bisa dengan memberikan pengetahuan lebih terhadap tradisi
begalan melalui pendidikan formal, seperti sekolah sehingga anak-anak dan remaja
akan mengetahui tentang tradisi begalan ini. Kemudian ada Winda Eka Kurniawati
yang merupakan mahasiswa baru Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Winda
mengaku mengetahui mengenai begalan hanya sebatas ubarampe yang digunakan. Winda mengetahui tentang tradisi begalan
ini karena lingkungannya masih menjalankan tradisi ini. Lingkungannya yang
masih berada satu kawasan dengan Sofia, namun Ia menaruh antusiasme yang rendah
terhadap tradisi begalan di lingkungannya karena Ia justru jarang mempunyai
keinginan melihat tradisi ini meskipun lingkungannya melakukan. Meskipun Winda
dan keluarganya asli Jawa Timur, namun Ia berpendapat bahwa begalan itu
hukumnya wajib dilakukan pada upacara pernikahan anak pertama karena Ia kini
sudah menetap di Banyumas yang memiliki tradisi begalan ini. Winda menganggap
begalan sebenarnya sudah tidak relevan di jaman yang modern seperti sekarang,
meskipun terdapat mitos mengenai begalan itu sendiri, tetapi Ia berpendapat
mitos itu tidak berpengaruh karena itu tergantung dari kemampuan individunya
masing-masing dalam menjalin hubungan rumah tangga.
BEGALAN
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT BANYUMAS
Orang
Banyumas merupakan bagian dari Orang Jawa yang dalam kehidupannya lekat dengan
berbagai macam kegiatan ritual sebagai pelakanaan dari ajaran ketuhanan yang
dipercayainya. Herusatoto dalam bukunya yang berjudul Simbolisme dalam Budaya
Jawa mengungkapkan bahwa ajaran filsafat Jawa ditujukan agar manusia mencapai
kesempurnaan (seek of prefect). Pandangan filsafat demikian didasari oleh pemahaman
terhadap Tuhan Semesta Alam sehingga menuntun pemikiran manusia tentang urip
(hidup) di dunia; mbiyen ora ana, saiki dadi ana, mbesuk maneh ora ana (dahulu
tidak ada, sekarang ada, besok tidak ada). Dengan demikian pemahaman filsafat
Jawa tidak sekedar filsafat keduniaan, melainkan untuk mencari kesempurnaan
hidup setelah mati (insan kamil).
Keberadaan
kesenian begalan di daerah Banyumas tidak lepas dari ajaran-ajaran tentang
pencapaian hidup sempurna tersebut. Ajaran kesempurnaan tidak hanya mencakup apa
yang akan terjadi setelah mati, melainkan juga bagaimana mencari sangu (bekal)
agar setelah mati olih dalan padhang (mendapat jalan terang) dalam rangka
penyatuan dengan Tuhan. Di dalam begalan dapat dijumpai properti-properti
tertentu yang dijadikan sebagai sarana pengungkapan ajaran-ajaran kehidupan
agar kedua mempelai yang akan memasuki hidup baru mengarungi bahtera rumah
tangga mampu mendudukkan dirinya sebagai makhluk individu maupun makhluk
sosial. Sebagai makhluk individu diajarkan bagaimana mengenali diri agar asal
mula-mulanira (asal muasal manusia), sehingga sadar akan hak dan kewajibannya
sebagai makhluk Tuhan. Sebagai makhluk sosial diajarkan bagaimana seseorang
mampu menempatkan diri secara proporsional dalam lingkungan keluarga (sebagai
istri atau suami, sebagai ayah atau ibu serta jadi anak atau menantu), dalam
lingkungan sosial masyarakat serta lingkungan alam sekitar. Dengan demikian
dapat terwujud keselarasan hidup baik antar manusia maupun dengan alam yang
memberikan sumber penghidupan.
Di
dalam begalan terdapat berbagai macam cara untuk mengungkapkan ajaran-ajaran
yang harus dilaksanakan oleh kedua mempelai yang nota bene telah menjadi
manusia dewasa dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosialnya. Sebagai
manusia maka ia harus dapat membedakan hak dan kewajiban, benar dan salah,
pahala dan dosa.
Bagi
masyarakat Banyumas yang hidup dengan latar belakang kehidupan tradisional
agraris, ajaran-ajaran seperti itu tidak mungkin diajarkan sekedar lewat wacana
sosial melalui kata-kata verbal. Masyarakat Banyumas tradisional pada umumnya
merasa kuthunging kawruh (sedikit
pengetahuan) sehingga tidak pandai membuat kata-kata berkias yang mengandung
nilai sastra tinggi sebagaimana pada ajaran-ajaran di dalam sastra Jawa yang
bersumber dari kalangan istana. Ajaran melalui begalan merupakan ajaran
filosofis dalam bentuk visual sehingga mudah ditangkap melalui panca indera dan
langsung dicerna ke otak bukan dengan cara menghafal. Ajaran seperti ini sangat
cocok untuk masyarakat yang hidup di daerah-daerah pedesaan yang tidak banyak
mengenyam pengetahuan sastra kraton yang diungkapkan melalui kata-kata indah
dalam karya sastra.
Masyarakat
pedesaan di daerah Banyumas akan merasa lebih mudah menangkap makna filosofis
tentang jagad gumelar (makro kosmos) dan jagad gumulung (mikro kosmos) melalui
ian yang secara visual memiliki empat pojok dan senantiasa dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari di dapur. Ajaran-ajaran tentang kosmologi maupun
epistemologi sebagaimana diungkapkan dalam karya-karya sastra macam Serat Wirid
Hidayat Jati karya R.Ng. Ranggawarsito bukanlah bagian dari kehidupan mereka.
Dengan demikian empat pojok pada alat rumah tangga yang bernama ian sudah cukup
untuk menggambarkan empat penjuru mata angin yang ada dalam jagad gumelar
(makro kosmos). Dengan belajar tentang makro kosmos tadi maka seseorang akan
dapat mengimbanginya dengan belajar mikro kosmos yang ada dalam dirinya
sehingga dapat ngrumat (merawat) agar dapat lestari kehidupan manusia di dunia.
Harapan-harapan
tentang kehidupan yang bahagia dan sejahtera cukup digambarkan melalui dua
negara yang sedang besanan yaitu negeri Medhang Kamulan dan negeri Kahuripan.
Medhang Kamulan dapat diartikan sebagai pintu kemuliaan, pintu kebahagiaan.
Adapun Kahuripan dapat diartikan kehidupan, yakni kehidupan yang selaras
(harmonis) antar sesama makhluk Tuhan yang meliputi makhluk manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan dan bangsa alus (makhluk halus).
Kesenian
begalan benar-benar merupakan pengungkapan intisari filsafat kehidupan
masyarakat Banyumas ala masyarakat pedesaan. Dengan demikian melalui kesenian
ini dapat dilihat kesederhanaan pola pikir masyarakat pedesaan di daerah
Banyumas yang merupakan komunitas masyarakat marginal survival yang berada jauh
dari lingkungan istana sebagai pusat kekuasaan sekaligus pusat pertumbuhan
kebudayaan.
12/31/2013 8:43:14 PM
Rekomendasi
link http://www.suaramerdeka.com/v2/index.php/read/cetak/2011/09/25/160349/Selamatkan-Pernikahan-lewat-Begalan-
rekomendasi buku
islam dalam tradisi begalan –suwito NS
acara pengantin berbagai gaya
seni tradisional begalan
0 komentar:
Posting Komentar