Selasa, Desember 31, 2013

PRO KONTRA RUU-KKG dan PEMBERIAN KUOTA bagi PERPOLITIKAN WANITA INDONESIA

NAMA                 : RESYA NUR INTAN PUTRI
NIM                     : F1C012028
MATA KULIAH  : SISTEM POLITIK INDONESIA

PRO KONTRA RUU-KKG dan PEMBERIAN KUOTA bagi PERPOLITIKAN WANITA INDONESIA

  1. LATAR BELAKANG
Banyak orang beranggapan bahwa sejak dilaksanakannya pemilu 2004 silam akan membuat kaum perempuan tersenyum. Sejak pencanangan kuota 30 persen sebagaimana yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, pasal 65 ayat 1, dianggap memberi “angin segar” yang seolah mampu memanjakan perempuan untuk berkiprah di dunia politik. Beberapa pihak menganggap kebijakan itu sebagai sesuatu yang memanjakan perempuan, namun hal ini tidak lah lepas dari kontra, karena ada pula yang menganggap bahwa ini sebagai suatu bahaya. Lalu timbulnya UU baru mengenai kesetaraan dan keadilan gender, yaitu RUU-KKG (Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender), juga berkaitan dengan masalah politik bagi wanita Indonesia. Pro kontra terus bergulir akan adanya RUU-KKG ini. Bahkan agama, terutama agama Islam turut berbicara karena memang memiliki keterkaitan.
Dilihat dari latar belakang historis, konsep kesetaraan gender lahir dari  pemberontakan perempuan Barat akibat penindasan yang dialami mereka selama berabad-abad lamanya. Sejak zaman Yunani, Romawi, dan Abad Pertengahan (the Middle Ages) , dan bahkan pada Abad Pencerahan sekali pun. Kaum Barat menganggap wanita sebagai makhluk inferior, manusia yang cacat, dan sumber dari segala kejahatan atau dosa. Hal itu kemudian memunculkan gerakan  perempuan Barat yang menuntut hak dan kesetaraan perempuan dalam bidang ekonomi dan politik  yang  pada akhirnya dikenal dengan sebutan feminis. Oleh karena itu dalam RUU tersebut jelas terlihat semangat gerakan Feminisme Barat. Hal itu dapat terbaca dari barometer yang digunakan untuk mengukur keterlibatan perempuan dalam wilayah publik, yakni dengan pendekatan Gender Development Index. Artinya, jika indeks partisipasi perempuan dalam pembangunan nasional berada dibawah standar yang ditetapkan, maka tak ada jalan lain selain memaksa perempuan untuk memenuhi standar tersebut.

  1. INTI MASALAH
Disebutkan dalam RUU KKG Pasal 1 Ayat 1, “Gender adalah perbedaan peran fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat dan budaya tertentu dari suatu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.” Dengan mengartikan bunyi dari pasal tersebut, seolah berarti bahwa antara perempuan dan lelaki sama rata dalam segala hal, bila dilihat dari perspektif Islam, UU ini seolah memberi contoh kalau perempuan punya hak buat jadi imam shalat 5 waktu dan makmumnya laki-laki. Karena RUU itu membolehkan persamaan gender. Dengan RUU, waris disamakan, poliandri dan aborsi dibolehkan, gay, lesbian, perkawinan beda agama, bisa menjadi bagian dari undang-undang.
Namun dilain pihak hal ini dianggap sebagai suatu UU yang mampu melindungi hak perempuan. Ada 3 faktor penting yang mendasari perumusan UU ini, menurut Andriea Salamun, Direktur riset dan advokasi Lembaga Katalog Indonesia, pertama, banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan dibandingkan laki-laki seperti kekerasan rumah tangga, korban perdagangan, kekerasan oleh majikan, korban pemerkosaan dan sebagainya. Kedua, RUU KKG diperlukan guna mendorong upaya sementara peningkatan kepemimpinan perempuan di berbagai bidang. Sebagai contoh, ada upaya yang telah dilakukan dalam peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan pusat maupun daerah dengan kebijakan kuota 30persen. Meskipun kuota itu belum terpenuhi namun jumlah keterwakilan perempuan mengalami peningkatan. Ketiga, pencapaian tujuan MDG’s. "Tugas Negara untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan sekaligus melindungi hak-hak perempuan dengan membentuk UU KKG". Dan kuota 30 persen ini berkaitan dengan dirumuskannya RUU KKG karena dengan pemberian kuota ini ada yang menganggap sebagai sebuah pemaksaan terhadap perempuan untuk berkiprah di hadapan publik.

  1. PEMBAHASAN
Diberikannya kuota 30 persen dalam ruang politik bagi wanita memang bukanlah tanpa alasan. Sekalipun negara kita mengakui bahwa setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang setara untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik dan publik, namun kenyataannya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif masih sangat rendah. Rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif ini berimplikasi pada terabaikannya kepentingan perempuan. Hal itu antara lain terlihat dari tingginya kematian ibu akibat melahirkan, sistem UMR yang ternyata menyebabkan perempuan menjadi kelompok yang paling dulu terkena pemutusan hubungan kerja bila UMR dinaikan, rendahnya jaminan perlindungan hukum bagi TKW, serta tidak adanya hukum untuk melindungi perempuan dari kekerasan konflik maupun ruang pribadi di dalam rumah. Kondisi tersebut mendorong beberapa pihak dalam memberikan kuota, karena perempuan memiliki kendala seperti adanya kepercayaan perempuan untuk memasuki wilayah kehidupan politik apabila harus bersaing dengan laki-laki, keharusan perempuan berperan ganda, kehidupan politik yang dianggap kotor, penuh manipulasi, yang memunculkan anggapan bahwa bidang ini lebih cocok untuk lelaki, dan lemahnya dukungan media masa terhadap penyebarluasan potensi dan kontribusi yang dapat diberikan oleh perempuan di bidang politik (Hidayat, dalam Wuryaningsih, dkk., 2003). Sementara itu, Drude Dahlerup dari Departemen Ilmu Politik, Universitas Stockholm, Swedia dalam seminar di Jakarta yang diselenggarakan oleh IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) pada 24 september 2002, menyebutkan bahwa alasan pentingnya diberikan kuota pada perempuan yaitu pertama, perempuan adalah separuh dari populasi masyarakat. Kedua, perempuan memiliki pengalaman biologis maupun yang dibentuk secara sosial dan kultural berbeda dengan laki-laki. Ketiga, perempuan dan laki-laki memiliki kepentingan yang berbeda sehingga laki-laki tidak bisa mewakili perempuan. Dan yang keempat, perempuan di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif bisa menjadi peran model, sehingga perempuan lain bisa mencontoh mereka untuk aktif berperan di ruang politik.
Atas alasan-alasan yang dikemukakan diatas, kebijakan pemberian kuota 30 persen terhadap perempuan dalam ranah politik tidak bisa dibilang sebagai hal untuk memanjakan perempuan. Justru kebijakan tersebut bisa dijadikan sebagai “barang dagangan’ oleh partai politik yang ingin meraup simpati dari para pemilih perempuan dengan pemilih terbesar, mengingat bunyi pasal 65 ayat 1 UU. No 12 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30persen” itu tidak jelas dan multitafsir, serta tidak mencantumkan sanksi bagi partai politik yang melanggar. Atas hal tersebut menyebabkan masalah baru, yaitu banyak parpol yang tetap tidak mengikutsertakan perempuan dalam bagian dari parpol itu sendiri dengan alasan kesulitan untuk mengajak perempuan, karena aktivis perempuan dinilai langka. Dan pro kontranya terhadap hal ini adalah adanya anggapan bahwa apabila perempuan dilibatkan kedalam dunia politik, bagaimana nasib keluarga dan anak-anaknya nanti? Disisi lain, ada pula anggapan bahwa perempuan penting dilibatkan kedalam poitik demi menjamin segala kebutuhan dan kepentingan perempuan masa kini, contohnya seperti layanan kesehatan dan pendidikan bagi perempuan, yang semua itu diharapkan dapat memberikan jalan keluar atas masalah tersebut apabila benar-benar dikendalikan oleh perempuan.
Perjuangan perempuan sesungguhnya telah dimulai jauh sebelum  Republik Indonesia merdeka. Hal ini ditunjukkan dengan berdirinya organisasi-organisasi perempuan yang berkontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia. Misalnya, organisasi Pawijatan Wanita di Magelang yang didirikan pada tahun 1915 dan PIKAT (Perantaraan Ibu kepada Anak Temurun) yang dibentuk di Manado pada tahun 1917. Pada masa Orde Lama, selain organisasi juga muncul beberapa nama perempuan yang berkiprah dalam bidang politik, antara lain Kartini Kartaradjasa dan Supeni, dua nama yang terkenal dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Namun pada transisi dari orde lama menuju orde baru organisasi-organisasi perempuan justru dianggap sebagai elemen yang harus diawasi atas nama kepentingan Negara serta adanya penghancuran terhadap Gerakan Wanita Indonesia. Sedangkan pada Orde Baru organisasi perempuan disentralisasi oleh negara di bidang “keperempuanan”. Perempuan berperan sebagai istri pendamping suami, pendidik anak dan pembina generasi muda, serta pengatur ekonomi rumah tangga. Kalaupun ada perempuan yang bekerja di luar rumah, hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Selain itu, kiprah perempuan di luar rumah juga difokuskan pada aktivitas sosial dan penyumbang tenaga pada masyarakat. Hal ini, tentu saja, semakin melanggengkan budaya patriarki.
Dorothy W. Cantor dan Toni Bernay bersama Jean Stoess dalam buku Women In Power menceritakan seorang Politikus wanita yang berhasil asal Amerika Serikat, Barbara Gallagher. Dimana Barbara mengatakan saat itu bahwa alasannya berkiprah di dunia politik adalah karena Barbara berada di ruang waktu yang tepat. Yang dimaksud ruang waktu yang tepat adalah adanya lowongan di dewan pendidikan. Ketika pejabat di lembaga itu menolak untuk dipilih kembali, beberapa tokoh masyarakat yang snagat dihormati mendorong Barbara untuk mencalonkan diri mengisi jabatan itu. Sebenarnya berbagai cemoohan kerap diterimanya saat itu. Hingga akhirnya Barbara mampu memenangkan pemilihan itu dan dia mengawali karier politiknya sebagai relawan pemerhati masalah pendidikan dan kemudian menjadi pelobi isu pendidikan. Kekuatan di balik aktivitas politiknya adalah hasrat untuk menolong orang lain dan melayani masyarakat. Ia senang memperoleh pengakuan dan sorotan, dan ia bersemangat sewaktu diminta sebagai anggota dewan sekolah. Selain itu ia dinilai bekerja dengan sangat baik, karena ia bisa diandalkan dalam isu yang berkaitan dengan keluarga dan wanita. Namun sering kali rancangan undang-undang yang ia dukung mengalami kemacetan karena tidak tercapai kesepakatan. Barbara masih ingat, bagaimana ia berupaya memperoleh dukungan untuk UU tentang Cuti Keluarga dan Cuti Kesehatan. Seorang anggota kongres justru mengejek rancangan tersebut dengan “Apa yang bisa diandalkan dari seorang wanita.” Yang lain juga mencemooh rancangan UU tersebut sebagai peraturan yang akan merugikan industry Amerika.
Atas hal tersebut terlihat bahwa kaum pria masih memandang rendah wanita dalam kancah politik, kebanyakan pria menganggap bahwa wanita memang seharusnya mengurus keluarga saja. Tapi faktanya, Barbara mampu membuktikan kemampuannya dalam menangani hal-hal yang menjadi tanggung jawabnya walaupun Ia harus  mengorbankan waktu bersama teman-teman sekalipun karena banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan. Atas hal tersebut pula penulis menegaskan bahwa kekuasaan wanita mencakup nalar, tujuan, dan agenda yang hendak dicapai. Kekuasaan semacam ini sangat bertolak belakang dengan kecenderungan pria yang memasuki arena politik agar berkuasa dan berpengaruh tanpa berbekal agenda tertentu di benaknya. Sidney Verba, dari Universitas Harvard, berpendapat, sumbangan terpenting bagi kaum wanita terhadap dunia politik adalah bahwa mereka lebih berminat mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat daripada memperluas lingkup kekuasaan mereka sendiri.
Jadi, adanya penetapan kuota tersebut masih dinilai sebagai syarat bukanlah kebutuhan. Banyaknya pro kontra atas kuota tersebut juga menjadikan keputusan ini masih terhambat pelaksanannya. Ada pula yang menilai bahwa penetapan kuota itu sebagai bentuk pelecehan terhadap perempuan karena partai peserta pemilu hanya memprioritaskan jumlah atau kuantitas, tidak memerhatikan kualitas, seharusnya parpol bersaing secara kualitas bagi perempuan dan laki-laki, itulah yang nanti akan membuat maju. walaupun sebenarnya pasti banyak perempuan yang mampu menjalani perpolitikan dengan baik, tapi tetap hal seperti ini menjadi jalan terjal untuk menggapai wilayah publik dengan berbagai alasan yang sudah dikemukakan sebelumnya.
Berkaitan dengan masalah tersebut, munculah RUU-KKG, suatu Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kesetaraan gender. RUU ini lahir didasari oleh 2 hal, yakni perlindungan dan pemberdayaan perempuan. Banyak fakta yang menunjukan bahwa kaum perempuan mengalami berbagai diskriminasi, kekerasan, hingga ketidakadilan. Beranjak dari spirit ini RUU-KKG muncul sebagai upaya melindungi serta memberdayakan kaum perempuan. Namun dilain sisi, RUU-KKG ini juga dipandang sebagai sarana membangkitkan semangat perempuan di dunia perpolitikan. Hanya saja yang menjadi masalah adalah bunyi dalam pasal 65 ayat 1 UU. No 12 Tahun 2003. Bahwa, makna menikmati dan berpartisipasi dalam pembangunan haruslah dilakukan oleh perempuan dalam bentuk aktif di luar rumah. Aktivitas perempuan sebagai istri pendamping suami dan pendidik anak-anaknya di rumah, tidak dinilai sebagai bentuk partisipasi dalam pembangunan. Rumusan definisi Gender, Kesetaraan dan Keadilan Gender, serta pemaksaan peran perempuan dalam porsi tertentu di ruang publik, dalam RUU KKG ini, sejalan dengan gagasan kaum Marxian yang memandang keluarga dimana laki-laki sebagai pemimpinnya sebagai bentuk penindasan terhadap kaum perempuan. Jadi, RUU-KKG ini justru dipandang sebagai pengahancuran kiprah politik wanita yang sesungguhnya, karena banyak kemungkinan yang akan terjadi apabila wanita benar-benar dipaksa untuk tampil dalam publik, terutama kemungkinan masalah dalam keluarga dan pengasuhan anak.
Perbedaan peran fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari tidaklah sepenuhnya salah, hanya saja perlu untuk diluruskan agar tidak terjadi pengarusutamaan gender jika hanya dijalankan tanpa memperhatikan peran-peran perempuan sebagai generasi mendatang, dan jika RUU KKG diberlakukan tanpa adanya kesiapan serta kematangan mental perempuan juga kurangnya pengetahuan tentang hakikat sebenarnya seorang perempuan dikhawatirkan akan merusak tatanan kehidupan. Oleh karena itu, sesungguhnya yang perlu diperhatikan adalah keadilan, bukan kesetaraan. Jika kesetaraan meniscayakan pembagian yang sama rata antara laki-laki dan perempuan, keadilan tidak hanya sekedar itu. Keadilan juga mengehendaki pembagian yang sesuai dengan porsi dan peran yang memang telah disepakati antara laki-laki dan perempuan. Adil tidaklah harus 50:50, adil itu berarti memberikan sesuatu sesuai kebutuhan. Yang terpenting adalah menghargai dan menyadari bahwa antara perempuan dan laki-laki perlu ada pembagian tugas yang jelas dan dipahami oleh masing-masing pihak, agar tidak ada pemaksaan peran.
Dengan demikian, perjuangan perempuan dalam upaya menegakkan kesetaraan gender masih jauh dari harapan. Peningkatan jumlah anggota dewan perempuan dari periode ke periode belum mampu mengentaskan kaumnya dari ketidaksetaraan gender yang dialami. Oleh karena itu, perjuangan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender tidak dapat dilakukan oleh kaum perempuan sendiri, melainkan diperlukan kerjasama dengan entitas sosial lain yang memiliki kepekaan terhadap persoalan perempuan (gender sensitivity). Selain itu, perjuangan tersebut juga memerlukan upaya yang sistematis, terprogram, dan berkesinambungan pada semua sisi pembangunan. Disamping itu, perjuangan tersebut juga memerlukan komitmen bersama dari para pengambil keputusan, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, kaum cendekiawan, beserta seluruh elemen masyarakat dalam rangka mengeliminasi berbagai kendala kultural, struktural, dan instrumental dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender di semua lini kehidupan.
Atas hal tersebut menurut saya sebenarnya tidak mengapa perempuan berkiprah di dunia politik, hanya saja tidak perlu terlalu dipaksa dalam memenuhi kuota dalam parpol. Selain memang terkadang menyulitkan parpol dalam menjaring aktivis perempuan, perempuan juga memiliki tanggung jawab yang sesungguhnya dalam pengurusan keluarga dan anak-anak. Seperti hal nya Rieke Diah Pitaloka, seorang politisi wanita Indonesia, beliau mengaku bahwa sang suami mendukung kiprahnya di dunia politik selama itu positif, mereka saling mendukung profesi satu sama lain, dan untuk masalah pengasuhan anak, sang suami tak keberatan untuk mengasuh anak saat Rieke sibuk. Jangankan dalam politik, untuk urusan karir kini memang banyak wanita yang meraup kesuksesan.  Namun itu semua kembali pada diri masing-masing, apabila seorang wanita sudah memutuskan untuk mengisi kehidupan mereka dengan berkarir, entah itu dalam bidang apapun, mereka juga harus tetap membagi waktu terhadap keluarga ataupun urusan pribadi mereka.

DAFTAR PUSTAKA :
W. Cantor , Doroty. 1998. Women in Power, Kiprah Wanita dalam Dunia Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Rosyadi, Slamet, dkk. 2004. Prospek Pemilu 2004: Peluang dan Tantangan Menuju Indonesia Baru. Purwokerto: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Harian Suara Merdeka, Rabu, 10 April 2013 oleh Misbaul Ulum, pengajar Monash Institute Semarang, Pembina Pusat Kajian Islam dan Feminisme IAIN Walisongo Semarang.


1 komentar:

Posting Komentar