Selasa, Mei 13, 2014

Cerita Sang Penjaja Koran

Aku selalu melewati jalan yang sama ketika menuju kampus. Aku akan selalu melewati Pancurawis, Kaliputih, Jl. Dr. Soeparno, dan akhirnya menyusuri Grendeng. Bagi yang sudah lama tinggal di Purwokerto tentu sudah tidak asing dengan pertigaan Jl. Dr. Soeparno yang bila berbelok arah, kita akan menuju GOR Satria Purwokerto. Di ruang henti roda dua aku menunggu pergantian lampu lalu lintas untuk beberapa detik kemudian. Sebenarnya sebelum aku sampai di ruang henti ini, dari jauh aku sudah bisa melihat beberapa kendaraan yang berhenti dan seseorang yang sudah berada di sini sebelumnya dengan setumpuk koran berada di tangannya. Dengan memakai rompi dan topi berwarna biru, kita akan dengan mudah mengenali jenis koran apa yang ia jajakan, karena redaksi tempat ia bekerja akan terlihat jelas pada rompi dan topi tersebut.

Dengan tak kenal lelah ia mondar mandir kesana kemari sibuk menjajakan korannya, meskipun tidak selalu laku. Namun ia lebih sering berhenti di ruang henti roda dua, dan hanya berpindah beberapa meter saja untuk menjajakan korannya dengan mendekati mobil-mobil yang berhenti. Setelah lampu berubah menjadi hijau ia agak menyingkir sedikit dan membiarkan semua kendaraan lewat, dan saat lampu berubah menjadi merah lagi, ia disibukkan kembali dengan aktivitasnya menjajakan koran tersebut tanpa henti.

Aku tidak mengerti secara pasti sejak kapan ia berangkat dan berada di situ untuk bekerja, dan kapan ia berhenti bekerja. Yang pasti, kurang lebih pukul 7.30 aku sudah melihat beliau berada disana dan saat aku melewati jalanan itu kembali sekitar pukul 11 siang, beliau juga masih berada disana. Saat itu aku semakin melihat jelas keringat yang membahasi kulit coklatnya, menandakan beliau bekerja keras untuk terus menjajakan korannya. Bila dilihat dari wajahnya aku perkirakan usianya sudah memasuki kepala 4. Dan setiap melihatnya aku sangat salut dan merasa terharu. Oleh kerja kerasnya yang tanpa lelah ia terus berusaha untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Aku sangat salut!

Banyak dari pengguna kendaraan yang membeli korannya dan tidak jarang dari pembeli yang justru menolak untuk mendapatkan uang kembalian. Hal ini terlihat dari seorang pembeli yang menyodorkan uang padanya dan menolaknya saat sang penjaja koran tersebut merogoh sakunya untuk memberikan kembalian. Dengan senyum tipis dan anggukannya melukiskan bahwa beliau berterima kasih kepada pembeli tersebut, kemudian beliau berlalu dan kembali menjajakan korannya kepada pengguna jalan lain. Aku akan selalu memandanginya ketika aku berhenti di tempat ini, hingga aku berlalu aku pun kadang masih memikirkan bapak itu.

Aku dapat menyimpulkan, bahwa dia memang seorang yang benar-benar mau bekerja keras untuk mencari nafkah, untuk mencari uang demi kehidupan keluarganya. Sorot matanya tulus, mencerminkan seolah ia bekerja tanpa pernah mengeluh. Sayangnya aku tidak mengerti siapa nama bapak itu, aku tidak mengerti dimana tempat tinggalnya, yang hanya aku tau dia seorang pekerja keras. Kesederhanaan darinya terlihat dari penampilannya. Terlihat jelas juga bahwa dia tetap berusaha untuk bekerja pada sebuah redaksi koran, bukan bekerja secara instan dengan menjadi peminta-minta, meskipun sama-sama bertempat di perempatan lampu merah, meskipun....ia hidup tanpa kedua kakinya. Ia berjalan dengan bantuan tangan kirinya, dan tangan kanannya menyangga tubuhnya saat ingin berpindah tempat, tanpa tongkat, tanpa alat bantu apapun ia tetap bekerja keras secara halal. Inilah yang membuatku salut dan selalu terharu melihat usahanya selama ini. Semoga beliau senantiasa diberi kesehatan dan keselamatan dalam pekerjaan dan usahanya untuk menafkahi keluarganya...

0 komentar:

Posting Komentar