Jumat, April 18, 2014

Culture Study, Teknologi, dan Manusia

            Mendengar kata Culture Study mungkin secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang budaya. Namun sebenarnya Culture Study merupakan sesuatu yang sedikit sulit untuk didefinisikan secara harfiah, karena tidak masuk dalam disiplin ilmu manapun. Yang saya tahu Culture Study adalah karakteristik ilmuwan dalam melihat realitas. Jadi, dalam konteks Culture Study peneliti/ilmuwan haruslah memiliki pemikiran yang luas akan suatu hal yang akan ia teliti, atau dengan kata lain tidak boleh terfragmentasi dalam suatu hal saja. Dalam Culture Study peneliti/ilmuwan tidak hanya menggambarkan suatu hal tertentu saja, tetapi juga menghubungkannya dengan suatu hal lain. Oleh Karena itu dapat disimpulkan bahwa karakteristik dari Culture Study adalah bahwa dalam kita melihat sesuatu kita tidak hanya berfokus pada sesuatu itu sendiri, tetapi juga harus senantiasa melihat dengan sesuatu lain. Kita tidak hanya menggambarkan sesuatu secara detail tetapi juga harus menghubungkannya dengan sesuatu lain. Dengan begitu akan terbentuk cara berpikir yang dinamis dan kita tidak akan melakukan penilaian secara abstrak akan suatu hal sebelum kita mengetahui ada apa saja dibalik hal tersebut dan bagaimana nilainya bila dilihat dari berbagai sudut pandang. Dengan kata lain dalam melihat sesuatu kita tidak boleh saklek akan pikiran atau sudut pandang diri kita sendiri saja, tetapi kita perlu menengoknya melalui sudut pandang lain.
            Untuk lebih memudahkan dalam memahami Culture Study saya mendapatkan contoh mengenai fenomena “Anak Punk”. Tak jarang kita melihat kumpulan remaja dengan pakaian dan aksesoris yang biasanya serba nyentrik dengan domnasi warna hitam yang menjadi warna pokok dalam gaya pakaian mereka. Mereka biasanya nongkrong di persimpangan jalan sambil mengamen dalam menghidupi diri mereka masing-masing. Secara umum kita yang melihatnya sebagai sebuah kumpulan remaja yang tidak beraturan dan terkadang malah membuat kita tidak simpati terhadapnya. Namun bila dikaitkan dalam konteks Culture Study  sesungguhnya kita harus dapat memandangnya dari sudut pandang lain. Ditemukannya gaya ini pertama kali di Amerika, yang managaya Anak Punk yang seperti itu memiliki makna bahwa mereka sesungguhnya menciptakan gaya mereka sendiri dikarenakan mereka adalah anak-anak yang dulunya tidak diakui oleh orang tua mereka atau mereka yang tidak mengakui orang tuanya sendiri sehingga mereka merasa tersingkirkan dan akhirnya hidup sendiri dengan kebebasan yang mereka ciptakan sendiri. Bila dilihat dari hal tersebut sesungguhnya sangat ironis. Dibalik pikiran kita yang terkadang sudah tidak bisa positif terhadap mereka, ternyata sesungguhnya ada kisah yang memilukan dibalik hal tersebut. Hal inilah yang dimaksud bahwa dalam melihat sesuatu harus dikaitkan dengan sesuatu lain sehingga kita mampu menilai sesuatu tersebut dari berbagai sudut pandang.
Culture Study dalam konteks ini sebenarnya lebih membahas dan berkaitan dengan teknologi dan media. Kebudayaan dan teknologi sesungguhya sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Dengan adanya teknologi mampu menguatkan manusia dalam melihat berbagai hal sehingga manusia mampu menghasilkan cara berpikir yang baru dalam memandang suatu hal tersebut. Teknologi dan budaya memliki hubungan sejarah yang panjang. Namun hubungan antara budaya dan teknologi memiliki sedikit banyak masalah teori karena merupakan tugas deskripsi, dan praktisi teknologi seringkali tidak menyadari pekerjaan yang dilakukan oleh asumsi teoritis mereka sendiri. Teknologi baru (termasuk komunikasi baru dan teknologi informasi seperti satelit, kabel, siaran digital, internet, World Wide Web) benar-benar dianggap sebagai sesuatu yang revolusioner, seolah-olah mampu mengubah dan melakukan segalanya. Studi budaya sangat cocok untuk mengungkapkan dan mengkritisi kecenderungan seperti ini dengan menempatkannya sebagai cara alternatif dalam memahami dan membentuk hubungan antara teknologi dan budaya.
Di sisi lain, apabila kita membicarakan mengenai teknologi memang bukan sesuatu yang tabu lagi pada masyarakat jaman sekarang. Penjelasan mengenai teknologi juga sudah sering saya singgung dalam tulisan-tulisan sebelumnya. Yang menjadi pokok pembahasan kini adalah mengenai bagaimana sebenarnya seberapa jauh pengaruh pengalaman seseorang ketika menggunakan teknologi dalam kehidupan mereka? Menyoal hal tersebut, seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa teknologi mampu menguatkan kultur yang sudah ada sehingga menghasilkan cara berpikir yang baru pada seseorang. Semakin seseorang pandai menggunakan teknologi sesungguhnya semakin orang tersebut memiliki cara berpikir yang lebih dinamis dibandingkan dengan orang yang tidak menggunakan teknologi sama sekali. Misalnya orang yang terbiasa menggunakan komputer dan internet akan memiliki pemikiran yang lebih dipengaruhi oleh hal tersebut sehingga lama kelamaan sebenanrya bisa mengubah karakter dari orang tersebut.
Selanjutnya bila dilihat dari aspek manusia/user pada dasarnya pengguna terbesar teknologi adalah orang atau bangsa-bangsa yang masih dijajah oleh negara lain. Contoh saja seperti Indonesia yang mudah sekali dimasuki berbagai media dan teknologi baru dari pihak asing. Pada dasarnya hal ini secara tidak langsung membuat masyarakat mejadi konsumtif. Dengan begitu akan terjadi peningkatan penjualan gadget dan peningkatan rating berbagai aplikasi sosial. Dan bila hal itu terus terjadi, kembali lagi masyarakat akan mengalami permasalahan identitas serta gender. Winner (1996) telah menyatakan bahwa kita harus mempertimbangkan pengaturan teknologi itu sendiri, sebelum melakukan penggunaan secara spesifik. Yang mana permasalahannya adalah identitas dapat dipertukarkan dengan gampangnya. Dalam dunia online, seorang wanita dapat menyamar sebagai seorang pria dan begitu juga sebaliknya, seorang pria dapat mengklaim dirinya sebagai seorang wanita. Hal ini serupa dengan kutipan dari Kolkoetal dalam Handbook of New Media, Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone :

Anda mungkin dapat melakukan aktivitas online dan tidak seorangpun tahu akan ras atau jenis kelamin anda. Anda bahkan mungkin dapat mengambil potensi dunia maya untuk kerahasiaan langkah lebih lanjut dan menyamar sebagai ras atau gender yang tidak mencerminkan yang sebenarnya, tetapi hal tersebut sesungguhnya memungkinkan Anda untuk melarikan diri identitas 'dunia nyata' Anda sepenuhnya. Akibatnya, adanya ras di dunia maya justru karena kita semua yang menghabiskan waktu online yang seolah justru lebih penting pembentukan ras di dunia virtual daripada ras kita yang sebenarnya. (2003: 4-5)

Atas dasar hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kita haruslah lebih berhati-hati dalam melakukan aktivitas virtual. Karena media dan teknologi pada dasarnya memang mampu mengubah cara berpikir kita namun jangan sampai meghilangkan cara berpikir kita sepenuhnya untuk menyikapi dunia kita yang sebenarnya.  Manusia memang makhluk yang dinamis, namun harus tetap mampu menjaga dan menyeimbangkan segala aspek kehidupannya.

DAFTAR PUSTAKA:


            Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consequences of ITCs, Culture Studies and Communication Technology Sage        London : Publication Ltd. 

0 komentar:

Posting Komentar