Mendengar kata Culture Study mungkin secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
sebuah studi tentang budaya. Namun sebenarnya Culture Study merupakan sesuatu yang sedikit sulit untuk
didefinisikan secara harfiah, karena tidak masuk dalam disiplin ilmu manapun.
Yang saya tahu Culture Study adalah
karakteristik ilmuwan dalam melihat realitas. Jadi, dalam konteks Culture Study peneliti/ilmuwan haruslah
memiliki pemikiran yang luas akan suatu hal yang akan ia teliti, atau dengan
kata lain tidak boleh terfragmentasi dalam suatu hal saja. Dalam Culture Study peneliti/ilmuwan tidak
hanya menggambarkan suatu hal tertentu saja, tetapi juga menghubungkannya
dengan suatu hal lain. Oleh Karena itu dapat disimpulkan bahwa karakteristik
dari Culture Study adalah bahwa dalam
kita melihat sesuatu kita tidak hanya berfokus pada sesuatu itu sendiri, tetapi
juga harus senantiasa melihat dengan sesuatu lain. Kita tidak hanya
menggambarkan sesuatu secara detail tetapi juga harus menghubungkannya dengan
sesuatu lain. Dengan begitu akan terbentuk cara berpikir yang dinamis dan kita
tidak akan melakukan penilaian secara abstrak akan suatu hal sebelum kita
mengetahui ada apa saja dibalik hal tersebut dan bagaimana nilainya bila
dilihat dari berbagai sudut pandang. Dengan kata lain dalam melihat sesuatu
kita tidak boleh saklek akan pikiran
atau sudut pandang diri kita sendiri saja, tetapi kita perlu menengoknya
melalui sudut pandang lain.
Untuk lebih memudahkan dalam
memahami Culture Study saya
mendapatkan contoh mengenai fenomena “Anak Punk”. Tak jarang kita melihat
kumpulan remaja dengan pakaian dan aksesoris yang biasanya serba nyentrik
dengan domnasi warna hitam yang menjadi warna pokok dalam gaya pakaian mereka.
Mereka biasanya nongkrong di persimpangan
jalan sambil mengamen dalam menghidupi diri mereka masing-masing. Secara umum
kita yang melihatnya sebagai sebuah kumpulan remaja yang tidak beraturan dan
terkadang malah membuat kita tidak simpati terhadapnya. Namun bila dikaitkan
dalam konteks Culture Study sesungguhnya kita harus dapat memandangnya
dari sudut pandang lain. Ditemukannya gaya ini pertama kali di Amerika, yang
managaya Anak Punk yang seperti itu memiliki makna bahwa mereka sesungguhnya
menciptakan gaya mereka sendiri dikarenakan mereka adalah anak-anak yang dulunya
tidak diakui oleh orang tua mereka atau mereka yang tidak mengakui orang tuanya
sendiri sehingga mereka merasa tersingkirkan dan akhirnya hidup sendiri dengan
kebebasan yang mereka ciptakan sendiri. Bila dilihat dari hal tersebut
sesungguhnya sangat ironis. Dibalik pikiran kita yang terkadang sudah tidak
bisa positif terhadap mereka, ternyata sesungguhnya ada kisah yang memilukan
dibalik hal tersebut. Hal inilah yang dimaksud bahwa dalam melihat sesuatu
harus dikaitkan dengan sesuatu lain sehingga kita mampu menilai sesuatu
tersebut dari berbagai sudut pandang.
Culture Study dalam konteks ini
sebenarnya lebih membahas dan berkaitan dengan teknologi dan media. Kebudayaan
dan teknologi sesungguhya sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Dengan adanya teknologi
mampu menguatkan manusia dalam melihat berbagai hal sehingga manusia mampu
menghasilkan cara berpikir yang baru dalam memandang suatu hal tersebut. Teknologi dan budaya memliki hubungan sejarah yang
panjang. Namun hubungan antara budaya dan teknologi memiliki sedikit banyak masalah teori karena
merupakan tugas deskripsi, dan praktisi teknologi seringkali tidak menyadari
pekerjaan yang dilakukan oleh asumsi teoritis mereka sendiri. Teknologi baru (termasuk
komunikasi baru dan teknologi informasi seperti satelit, kabel, siaran digital,
internet, World Wide Web) benar-benar
dianggap sebagai sesuatu yang revolusioner, seolah-olah
mampu mengubah dan melakukan segalanya. Studi budaya sangat cocok untuk mengungkapkan dan
mengkritisi kecenderungan seperti ini dengan menempatkannya sebagai cara alternatif
dalam memahami dan membentuk hubungan antara teknologi dan budaya.
Di sisi lain, apabila
kita membicarakan mengenai teknologi memang bukan sesuatu yang tabu lagi pada
masyarakat jaman sekarang. Penjelasan mengenai teknologi juga sudah sering saya
singgung dalam tulisan-tulisan sebelumnya. Yang menjadi pokok pembahasan kini
adalah mengenai bagaimana sebenarnya seberapa jauh pengaruh pengalaman seseorang
ketika menggunakan teknologi dalam kehidupan mereka? Menyoal hal tersebut,
seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa teknologi mampu menguatkan
kultur yang sudah ada sehingga menghasilkan cara berpikir yang baru pada
seseorang. Semakin seseorang pandai menggunakan teknologi sesungguhnya semakin
orang tersebut memiliki cara berpikir yang lebih dinamis dibandingkan dengan
orang yang tidak menggunakan teknologi sama sekali. Misalnya orang yang
terbiasa menggunakan komputer dan internet akan memiliki pemikiran yang lebih
dipengaruhi oleh hal tersebut sehingga lama kelamaan sebenanrya bisa mengubah
karakter dari orang tersebut.
Selanjutnya bila
dilihat dari aspek manusia/user pada dasarnya pengguna terbesar teknologi
adalah orang atau bangsa-bangsa yang masih dijajah oleh negara lain. Contoh
saja seperti Indonesia yang mudah sekali dimasuki berbagai media dan teknologi
baru dari pihak asing. Pada dasarnya hal ini secara tidak langsung membuat
masyarakat mejadi konsumtif. Dengan begitu akan terjadi peningkatan penjualan
gadget dan peningkatan rating berbagai aplikasi sosial. Dan bila hal itu terus
terjadi, kembali lagi masyarakat akan mengalami permasalahan identitas serta
gender. Winner (1996) telah menyatakan bahwa kita harus
mempertimbangkan pengaturan teknologi itu sendiri, sebelum melakukan penggunaan secara spesifik. Yang mana permasalahannya adalah identitas
dapat dipertukarkan dengan gampangnya. Dalam dunia online, seorang wanita dapat
menyamar sebagai seorang pria dan begitu juga sebaliknya, seorang pria dapat
mengklaim dirinya sebagai seorang wanita. Hal ini serupa dengan kutipan dari Kolkoetal dalam Handbook
of New Media, Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone :
Anda mungkin dapat melakukan
aktivitas online dan tidak seorangpun tahu akan ras atau jenis kelamin anda. Anda
bahkan mungkin dapat mengambil potensi dunia maya untuk kerahasiaan langkah
lebih lanjut dan menyamar sebagai ras atau gender yang tidak mencerminkan yang
sebenarnya, tetapi hal tersebut sesungguhnya memungkinkan Anda untuk melarikan
diri identitas 'dunia nyata' Anda sepenuhnya. Akibatnya, adanya ras di dunia
maya justru karena kita semua yang menghabiskan waktu online yang seolah justru
lebih penting pembentukan ras di dunia virtual daripada ras kita yang
sebenarnya. (2003: 4-5)
Atas dasar
hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kita haruslah lebih
berhati-hati dalam melakukan aktivitas virtual. Karena media dan teknologi pada
dasarnya memang mampu mengubah cara berpikir kita namun jangan sampai
meghilangkan cara berpikir kita sepenuhnya untuk menyikapi dunia kita yang
sebenarnya. Manusia memang makhluk yang
dinamis, namun harus tetap mampu menjaga dan menyeimbangkan segala aspek
kehidupannya.
DAFTAR PUSTAKA:
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook
of New Media : Social Shaping and Social Consequences of ITCs, Culture Studies
and Communication Technology Sage
London : Publication Ltd.
0 komentar:
Posting Komentar