REVIEW JURNAL
MENGUNGKAP GANGGUAN KEHIDUPAN DAN KERJA PADA PRIA
MUSLIM AUSTRALIA : IMPLIKASI TERHADAP HRM
Diambil
dari :
New
Zealand Journal of Human Resources Management
Penulis :
Dr Adem Sav
Griffith Health Institute, Griffith University, Australia
Dr Neil Harris
Griffith Health Institute, Griffith University, Australia
Dr Bernadette Sebar
School of Public Health, Griffith University, Australia
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Sebagai seorang lelaki yang berkewajiban menafkahi keluarga, mereka
menjalani itu semua bukanlah tanpa masalah. Dan mungkin memang hampir di
seluruh dunia para pekerja selalu mengalami masalah entah itu berkaitan dengan
tempat kerja atau bahkan di kehidupan pribadinya. Penelitian ini memfokuskan
diri pada Pria Muslim Australia. Penelitian ini memberikan kontribusi untuk pemahaman kita
tentang bagaimana keyakinan yang berbeda budaya dan agama mempengaruhi gangguan
kehidupan dengan pekerjaan, serta membahas implikasinya untuk manajemen sumber daya manusia
(HRM). Dalam
definisi yang paling sederhana, seorang Muslim adalah orang yang memeluk agama
Islam, atau lahir dalam keluarga Muslim, dan percaya pada keesaan Allah dan
penutup para Nabi Muhammad. Muslim Australia memiliki nilai budaya dan agama
yang berbeda, yang menunjukkan bahwa gangguan pekerjaan terhadap
kehidupan
dapat dialami secara berbeda dari populasi Australia yang umum. Dalam
memahami msalah yang dialami para pria muslim merupakan hal yang penting dalam
sudut pandang manajemen karena gangguan kehidupan dan pekerjaan dianggap menjadi inti dari masalah
penting HRM. Berkaitan dengan masalah ini, bahwa organisasi perlu menyadari kebutuhan
khusus pekerja mereka untuk mempromosikan budaya kerja keluarga mendukung
(Bardoel, Moss, Smyrnios, & Tharenou, 1999; Geurts & Demerouti, 2003). Sehingga
para pekerja mampu mencapai tingkat keseimbangan antara kehidupan dan
pekerjaan. Penilaian dalam menemukan jalan. Tantangannya dalam menciptakan
keseimbangan hidup antara pekerjaan dan kehidupan adalah adanya suatu keharusan
penyelesaian terhadap berbagai hal dalam pekerjaan Dan di waktu yang sama, mereka harus berada di
rumah mereka harus meluangkan waktu dengan pasangan mereka , teman-teman,
anak-anak, dan lain-lain. Rekan-rekan kerja berharap kapan mereka akan selesai
melakukan pekerjaan, sementara orang-orang dekat dalam kehidupan anda berharap
kapan anda akan ada di rumah. Semua penilaian ini, baik secara internal maupun
eksternal, nyata atau hanya bayangan, akan masuk ke jalur pencarian
keseimbangan yang harus dicari.
TEORISTIS DASAR
Penelitian ini diinformasikan oleh
model teoritis yang
menyoroti pengaruh budaya pada gangguan pekerjaan dan keluarga. Penelitian
ini menunjukkan
bahwa persepsi dan prevalensi gangguan kerja dan kehidupan, cenderung bervariasi lintas budaya (Aycan &
Eskin, 2005; Grzywacz et al, 2007;. Lim, Song, & Choi, 2012; Liu &
Rendah, 2011; Powell, Francesco, & Ling, 2009). Peran dari
pekerjaan dan keluarga mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi, dan peran pekerjaan dan keluarga yang
dianggap tersegmentasi dalam masyarakat individualistis dan terintegrasi dalam
masyarakat kolektif (Aycan, 2008). Sedangkan ketidaksesuaian antara
peran pekerjaan dan keluarga menyebabkan adanya campur tangan diantara
keduanya
dalam masyarakat individualistis (Joplin, Shaffer, Francesco, & Lau, 2003). Yang, Chen, Choi dan Zou (2000) melakukan
penelitian terhadap masyarakat Amerika dan China yang keduanya memiliki
perbedaan kepribadian. Dimana masyarakat Amerika yang cenderung
individualistis, justru tuntutan keluarga lah yang memberikan dampak lebih
besar terhadap gangguan pekerjaan mereka. Sedangkan pada masyarakat china yang
kolektif tuntutan pekerjaan lah yang memberikan dampak lebih besar terhadap
gangguan pekerjaan karena mengorbankan waktu keluarga untuk bekerja dalam masyarakat
kolektif dianggap sebagai pengorbanan diri untuk kepentingan keluarga. Dan pada
masyarakat individualistis mengorbankan waktu keluarga untuk tugas kerja pada umumnya
dipandang sebagai kegagalan Yang et al. (2000). Dan dalam hal ini Pria Muslim
Australia termasuk dalam golongan masyarakat kolektif. Penelitian mengeksplorasi peran
budaya pada pengalaman pekerjaan dan keluarga telah meningkat selama
dekade terakhir, sebagian besar penelitian telah dilakukan dengan menggunakan sampel pada Asia. Studi ini akan membantu untuk
mengisi kesenjangan dengan mengungkap gangguan kehidupan kerja dalam sampel pekerja laki-laki Muslim
Australia, kelompok minoritas ditandai dengan keragaman budaya. Penting untuk
dicatat bahwa fokus dari penulis adalah pada kaitannya antara pekerjaan terhadap kehidupan daripada pekerjaan terhadap keluarga untuk menggabungkan peran sosial di luar pekerjaan. Penulis
memperkirakan bahwa pria
Muslim akan menghabiskan
berjam-jam di
tempat kerja karena
peran pencari
nafkah dan
mengalami tingkat
yang lebih tinggi
dari gangguan pekerjaan dan hidup
daripada gangguan
kehidupan
dan pekerjaan. Maka dari itu,
penulis menduga bahwa
jam kerja akan memiliki
efek yang lebih
signifikan terhadap gangguan daripada tuntutan
pekerjaan.
METODE PENELITIAN
Subyek dari
penelitian ini adalah Pria Muslim di Australia. Sebanyak 301 peserta direkrut dari
berbagai organisasi Islam / masjid di South East Queensland (SEQ) untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini. Peserta diperkenankan untuk mengisi kuesioner,
Data juga dikumpulkan oleh peserta melalui
World Wide Web (internet). Sejumlah
item demografis dimasukkan dalam kuesioner. Peserta diminta untuk menentukan
usia mereka, latar belakang etnis dan budaya, kualifikasi pendidikan,
pekerjaan, total pendapatan rumah tangga, status pekerjaan (paruh waktu atau
penuh waktu karyawan), kepemilikan, jumlah dan usia tanggungan, negara tempat
tinggal antara kelahiran dan 18 tahun, status perkawinan, dan status pasangan
kerja.
Peserta diminta
untuk menjawab
11 pertanyaan menanyakan seberapa
sering pekerjaan mereka
berinteraksi negatif terhadap
kehidupan pribadi mereka
dan seberapa sering kehidupan pribadi
mereka berdampak
negatif pada
pekerjaan mereka.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini termasuk pada Penelitian Survey karena data yang dipelajari adalah data
dari sample yang diambil dari populasi tersebut, sehingga ditemukan
kejadian-kejadian relatif, distribusi, dan hubungan-hubungan antar variable. Penelitian
ini juga termasuk dalam Penelitian Asosiatif dimana penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui hubungan dua variable atau lebih yaitu variable gangguan pekerjaan
dan kehidupan dan variable implikasinya
terhadap Human Resources Management. Dan menurut jenis data ang dianalisis
penelitian ini tergolong pada Penelitian Kualitatif dimana peneltian yang menggunakan data
kualitatif yaitu data yang berbentuk data, kalimat, skema, serta gambar walaupun
terdapat juga sedikit angka.
PEMBAHASAN
GANGGUAN KERJA DAN KELUARGA
Dalam menjalani kehidupan pribadi dan kehidupan kerja,
pasti terdapat tekanan diantara keduanya. Terlalu panjangnya jam kerja dapat
berpengaruh terhadap keluarga mereka. Sementara terlalu banyaknya pekerjaan
rumah juga berpengaruh terhadap kehidupan kerja mereka. Jika
tidak hati-hati, pekerjaan kita bisa
menghancurkan kehidupan pribadi dan keluarga kita. Semakin pekerjaan kita maju,
keluarga kita semakin berantakan. Ini sebenarnya bukan hal yang aneh jika
memang para pekerja tidak bisa
menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Sudah banyak keluarga menjadi
korban dari kesuksesan seseorang dalam pekerjaannya, ini adalah hal yang sangat
ironis. Sudah seharusnya kesuksesan dalam pekerjaan
diimbangi kesuksesan kita membangun keluarga.
ANTISEDEN(PENYEBAB)
DAN HASIL DARI GANGGUAN KERJA DAN KELUARGA
Diidentifikasi pekerjaan yang
berhubungan dengan anteseden termasuk hubungan kerja negatif, seperti
jam kerja yang panjang dan tidak fleksibel, kelebihan peran, ketidakjelasan
peran, keterlibatan kerja, tidak adanya pemanfaatan keterampilan, ketidakamanan kerja, serta
shift dan kontrol rendah di atas kondisi kerja (Byron, 2005; Michel, Kotrba,
Mitchelson, Clark, & Baltes, 2011). Sedangkan sebuah hubungan positif yang kuat adalah
bila dimana seorang yang memiliki jam kerja yang tinggi maka semakin besar juga
kemungkinan mereka mengalami gangguan (Byron,
2005; Michel, et al, 2011;. Sharma, 2012). Hal ini karena jam kerja merupakan suatu permintaan dari perusahaan tempat mereka
bekerja yang membutuhkan waktu yang mungkin lebih banyak yang pada akhirnya
seseorang akan menghabiskan waktu di tempat kerja dan kehidupan non kerja akan
sedikit lebih terbaikan. Selain itu status
perkawinan (menikah), jumlah tanggungan, status pekerjaan dari pasangan, dan
adanya konflik atau gangguan dari
pasangan semuanya telah dikaitkan dengan keluarga dan gangguan dari pekerjaan itu ( Michel, et al, 2011.).
Disisi lain terdapat penelitian yang memberikan gambaran yang jelas tentang
hasil negatif dari gangguan pekerjaan dan kehidupan pada tempat kerja, mengacu pada fakta
bahwa tempat kerja memiliki kepentingan dalam meminimalkan gangguan antara
karyawan mereka (Bruck, Allen, & Spector, 2002; Dixon & Sagas , 2007). Namun terdapat juga gangguan kerja dan keluarga
dimana apabila terdapat ketidakpuasan kerja dari keluarga, dan merasa terdapat
hal yang justru mengganggu keluarga dan kehidupan pribadi mereka, maka para
pekerja akan mulai menyalahkan pekerjaan mereka dan tempat kerjanya.
GANGGUAN KERJA DAN KELUARGA DARI PERSPEKTIF PRIA
Sebenarnya gangguan pekerjaan telah
dialami oleh pria dan wanita, yang justru sebagian besar difokuskan pada
wanita, dimana penekanan pada
wanita dapat dimengerti mengingat jumlah waktu yang mereka habiskan untuk menjalani tugas dalam keluarga dan beberapa kelemahan yang mereka
alami di tempat kerja karena jenis kelamin mereka (Mooney, 2009). Karena misalnya saja saat wanita itu sedang hamil,
mungkin dia harus mulai mengurangi porsi kerjanya, demi menjaga kesehatan
tubuhnya. Hal ini tentu saja akan sedikit mengganggu penyelesaian kerjanya. Kemudian
pada perspektif pria, Lewis,
Gambles dan Rapoport (2007) berpendapat bahwa biasanya tempat kerja terus menganggap laki-laki
sebagai pekerja yang ideal yang dibebani dengan komitmen keluarga dan lainnya namun tetap
bersedia
bekerja dengan waktu penuh tanpa alasan. Terkait dengan peran gender itu sendiri mengemukakan tentang laki-laki sebagai pekerja, ayah
dan suami dengan
pengalaman kerja
dan non-kerja tetap
menjadi fokus khusus terhadap gangguan. Seorang pria seharusnya mampu menjadi
pemimpin yang hebat di dalam pekerjaan, namun juga harus menjadi pemimpin hebat
di dalam keluarga. Jika pria
hanya hebat di meja kerja, namun tidak hebat di meja makan saat bersama
keluarga, maka pria itu
sebenarnya sedang mengalami kegagalan di dalam
hidup. Bagaimanapun juga pekerjaan tidak akan bisa menjadi lebih penting
dan lebih berharga daripada keluarga. Tidak ada yang bisa menggantikan hal itu,
termasuk pekerjaan yang sangat sukses sekalipun.
PENGALAMAN PRIA MUSLIM AUSTRALIA
Muslim Australia adalah kelompok
minoritas yang berkembang budaya dan etnis di Australia (Australian Bureau of
Statistics [ABS], 2011). Sensus 2011 terbaru menunjukkan bahwa ada sekitar
476.290 Muslim di Australia, meningkat hampir 40% dari angka sensus 2006 dari
340.392 (ABS, 2011). Muslim juga minoritas
yang signifikan di Selandia Baru dan ada sekitar 41.000 Muslim dari yang berada
di Selandia Baru pada tahun 2010 (Pew Research Center, 2011). Berbeda dengan
populasi Australia yang lebih luas, Muslim di Australia dan Selandia Baru terdiri
dari laki-laki lebih dari perempuan dan secara signifikan lebih muda (ABS,
2006; Federasi Asosiasi Islam Selandia Baru, 2009). Struktur usia umat Islam di
kedua negara menunjukkan bahwa mereka terkonsentrasi pada tahun-tahun lebih
ekonomis produktif pada
hidup mereka,
kemudian lebih menyoroti pada pengungkapan
bagaimana mereka mengalami gangguan
kehidupan kerja.
Muslim,
seperti banyak kelompok minoritas lain di Australia dan Selandia Baru, yang
ditandai dengan keragaman etnis, sosial dan budaya (Kolig, 2003; Rane, Ewart,
& Abdalla, 2010). Meskipun penting untuk mengakui keragaman ini, ada
nilai-nilai dan keyakinan yang umum bagi banyak warga Muslim. Sebagian besar
nilai-nilai dan keyakinan yang terkait dengan agama dan budaya.
Sav, sebar
dan Harris (2010), baru-baru ini mengkaji bagaimana tempat kerja dan kesehatan
mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan laki-laki Muslim. Para pria menunjukan
kepuasan terhadap tempat kerja mereka dan berkomitmen terhadap pekerjaan
mereka, ketika mereka percaya bahwa tempat kerja mereka memahami dan
memperhatikan komitmen kehidupan mereka khususnya yang berkaitan dengan
agama. Dan salah satu lelaki muslim
menyatakan bahwa adanya konsekuensi positif dari tempat kerja mereka terhadap
gangguan kehidupan dan pekerjaan yang dapat membantu
menyeimbangkan komitmen diantara kedua bidang tadi. Berarti dapat disimpulkan
bahwa para pekerja dapat berkomitmen kuat terhadap tempat kerja mereka yang
mampu menyeimbangkan antara kehidupan kerja mereka dan bidang agama. Terlepas
dari Jurnal ini, terkait dengan gangguan pekerjaan yang dihadapi kaum muslim di
Australia, pada halaman http://www.eramuslim.com/berita/dunia-islam/muslim-australia-inginkan-adanya-libur-di-hari-raya.htm#.UOe299nnhJE ditemukan bahwa muslim di Australia inginkan adanya libur di
hari raya, sehingga mereka bisa menghabiskan waktu bersama keluarga mereka. Hal
ini menimbulkan adanya diskriminasi terhadap hari besar muslim di Australia.
Pemerintah seolah hanya memberikan kesempatan cuti pada agama Kristen saja
terhadap hari besarnya yang menimbulkan kesan seolah-olah Australia bangsa
Kristen, yang dalam hal ini justru akan menimbulkan masalah terhadap agama
selain Islam pula. Sebuah laporan pemerintah baru-baru ini mengungkapkan
bahwa umat Islam menghadapi Islamofobia mendalam dan tindakan berbasis ras yang
belum pernah ada sebelumnya. Keysar Trad, Presiden Asosiasi Persahabatan Islam,
mengatakan kepada Australian Associated Press (AAP) mengatakan bahwa mengakui
hari libur keagamaan bagi umat Islam Australia akan membantu mempromosikan
adanya kohesi ditengah-tengah masyarakat. Merayakan hari libur keagamaan,
sebenarnya sangat baik untuk menjalin hubungan diantara masyarakat. Ini
membuktikan bahwa pemerintah Australia masih kurang memperhatikan kaum yang
minoritas. Itu memang merupakan fakta umum bahwa cuti hari besar itu sangat
dibutuhkan. Ini termasuk dalam gangguan pekerjaan terhadap keluarga, karena
muslim Australia tersebut seharusnya berhak merayakan hari besar mereka bersama
keluarga dan melepaskan sejenak kepenatan terhadap berbagai tuntutan pekerjaan,
yang sayangnya oleh pemerintah Australia masih kurang direspons.
HASIL PENELITIAN/DISKUSI :
Penelitian ini
konsisten dilakukan terhadap penelitian pekerjaan dan kehidupan pada masyarakat
kolektif. Penelitian ini juga menunjukan bahwa pada pekerja dengan budaya
masyarakat kolektif memang sedikit mengalami gangguan antara pekerjaan dan keluarga.
Dan ditemukan bahwa pria Muslim
Australia mengalami tingkat gangguan yang
jarang (rendah sampai sedang). Bahkan, penelitian
sebelumnya dengan laki-laki
Muslim Australia menunjukkan
bahwa mungkin antara
peran kerja dan
kehidupan
yang dialami intensitasnya
lebih sering daripada gangguan yang terjadi
(Sav et al., 2010).
Karena itu, bekerja yang mempengaruhi keluarga dan kehidupan
pribadi lebih menonjol daripada keluarga dan kehidupan pribadi yang mempengaruhi pekerjaan. Selain itu, mengingat bahwa semua
peserta baik lahir / dibesarkan atau menghabiskan sebagian besar hidup mereka
di Australia, temuan penulis menunjukkan bahwa budaya dan agama yang
merupakan
bentuk keyakinan dari kerja. Tuntutan pekerjaan adalah prediktor
terkuat dari pekerjaan itu
sendiri terhadap kehidupan dibandingkan bekerja dengan tuntutan jam, religiusitas dan
keluarga. Berarti memang tuntutan dari tempat mereka bekerja lah yang terkadang
menimbulkan masalah internal terhadap diri masing-masing individu.
Hal ini mencerminkan gagasan bahwa jam kerja adalah prediktor kurang signifikan dari gangguan kerja terhadap kehidupan dari beban kerja yang dirasakan (umumnya dikonseptualisasikan sebagai tuntutan pekerjaan) dalam masyarakat kolektif (misalnya Lu, Kao, Chang, Wu, & Cooper, 2008; Spector et al. , 2004). Temuan ini juga menantang pemahaman dominan bahwa jam kerja yang menjadi hal lebih kuat dari gangguan terhadap tuntutan pekerjaan dan menunjukkan bahwa perhatian yang lebih besar mungkin perlu diberikan kepada tuntutan pekerjaan, terutama bagi pekerja dari latar belakang non-tradisional. Ini berarti menunjukan bahwa adanya tuntutan pekerjaan dari tempat mereka bekerja akan lebih memperbesar timbulnya gangguan. Karena tidak semua individu mampu memenuhi tuntutan pekerjaan, namun tetap mampu memenuhi bila adanya penambahan jam kerja. Selain itu dalam masalah keluarga terkait seperti pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga, semuanya meningkatkan risiko adanya gangguan kehidupan terhadap pekerjaan (Byron, 2005; Michel, et al, 2011.). Penulis mengemukakan bahwa peran agama terhadap para pekerja muslim tersebut dapat menghasilkan energi positif yang dapat memungkinkan pria muslim mengatasi gangguan. Hasil ini juga mendukung adanya perbedaan antara hal yang berkaitan pada pekerjaan memiliki pengaruh terhadap kehidupan dan gangguan-gangguan hidup yang juga memberikan pengaruh terhadap pekerjaan. Pekerjaan yang berhubungan dengan suatu antiseden akan berkaitan menimbulkan gangguan pada pekerjaan itu sendiri. Sementara keluarga yang berhubungan dengan suatu antiseden akan berkolerasi lebih dengan gangguan kehidupan terhadap pekerjaan. Jadi kesimpulannya, adanya gangguan kerja terhadap kehidupan merupa prediktor yang kuat yang menimbulkan adanya ketidakpuasan pada pekerjaan mereka. Hal ini konsisten dengan penelitian dalam budaya baik kolektif dan individualistis, yang mengindikasikan bahwa adanya gangguan pekerjaan yang berdampak pada keluarga lebih berkaitan terhadap kepuasan kerja mereka, daripada gangguan dalam keluarga terhadap pekerjaan.
Hal ini mencerminkan gagasan bahwa jam kerja adalah prediktor kurang signifikan dari gangguan kerja terhadap kehidupan dari beban kerja yang dirasakan (umumnya dikonseptualisasikan sebagai tuntutan pekerjaan) dalam masyarakat kolektif (misalnya Lu, Kao, Chang, Wu, & Cooper, 2008; Spector et al. , 2004). Temuan ini juga menantang pemahaman dominan bahwa jam kerja yang menjadi hal lebih kuat dari gangguan terhadap tuntutan pekerjaan dan menunjukkan bahwa perhatian yang lebih besar mungkin perlu diberikan kepada tuntutan pekerjaan, terutama bagi pekerja dari latar belakang non-tradisional. Ini berarti menunjukan bahwa adanya tuntutan pekerjaan dari tempat mereka bekerja akan lebih memperbesar timbulnya gangguan. Karena tidak semua individu mampu memenuhi tuntutan pekerjaan, namun tetap mampu memenuhi bila adanya penambahan jam kerja. Selain itu dalam masalah keluarga terkait seperti pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga, semuanya meningkatkan risiko adanya gangguan kehidupan terhadap pekerjaan (Byron, 2005; Michel, et al, 2011.). Penulis mengemukakan bahwa peran agama terhadap para pekerja muslim tersebut dapat menghasilkan energi positif yang dapat memungkinkan pria muslim mengatasi gangguan. Hasil ini juga mendukung adanya perbedaan antara hal yang berkaitan pada pekerjaan memiliki pengaruh terhadap kehidupan dan gangguan-gangguan hidup yang juga memberikan pengaruh terhadap pekerjaan. Pekerjaan yang berhubungan dengan suatu antiseden akan berkaitan menimbulkan gangguan pada pekerjaan itu sendiri. Sementara keluarga yang berhubungan dengan suatu antiseden akan berkolerasi lebih dengan gangguan kehidupan terhadap pekerjaan. Jadi kesimpulannya, adanya gangguan kerja terhadap kehidupan merupa prediktor yang kuat yang menimbulkan adanya ketidakpuasan pada pekerjaan mereka. Hal ini konsisten dengan penelitian dalam budaya baik kolektif dan individualistis, yang mengindikasikan bahwa adanya gangguan pekerjaan yang berdampak pada keluarga lebih berkaitan terhadap kepuasan kerja mereka, daripada gangguan dalam keluarga terhadap pekerjaan.
IMPLIKASI TERHADAP HRM :
Penelitian ini memiliki implikasi penting terhadap
Sumber Daya Manusia karena
peranan dari manajemen SDM adalah mempertemukan atau memadukan antara
perusahaan, karyawan, dan masyarakat luas, menuju tercapainya efektivitas,
efisiensi, produktivitas, dan kinerja perusahaan. Dan
hasilnya, diketahui bahwa gangguan kerja terhadap kehidupan lebih umum dialami pada kalangan laki-laki Muslim daripada gangguan kehidupan pribadi terhadap pekerjaan.
Oleh karena
itu, program penargetan kerja diarahkan untuk mengurangi pekerjaan yang
mengganggu kehidupan. Kedua,
penelitian
ini menunjukkan ketidakpuasan kerja akibat gangguan pekerjaan terhadap kehidupan
dapat
berdampak bagi pekerja dan
organisasi. Untuk organisasi,
imperatif ekonomi harus mendukung promosi dari tempat kerja dengan adanya bidang
pekerjaan
terhadap kehidupan
yang ramah yang mendukung terhadap kehidupan non kerja atau kehidupan pribadi karyawannya. Dengan tidak adanya suatu budaya yang
mendukung, karyawan cenderung mengalami konsekuensi negatif dari gangguan pekerjaan terhadap kehidupan
termasuk ketidakpuasan kerja, absensi, dan adanya komitmen yang rendah dari mereka terhadap
organisasi itu sendiri.
Sebenarnya agama mempunyai tingkat keterkaitan yang
tinggi terhadap gangguan-gangguan itu, karena islam menekankan pentingnya
pembayaran terhadap suatu pekerjaan tersebut mengingat itu merupakan sumber
kemerdekaan dan cara mempromosikan pertumbuhan/potensi pribadi, hanya saja
kekuatan hubungannya lemah. Oleh
karena itu, jika tempat kerja gagal untuk mempertimbangkan peran agama dan
implikasinya terhadap bagaimana pekerja dalam
mencurahkan waktu dan energi untuk bekerja secara
komitmen, mereka mungkin gagal untuk menciptakan lingkungan kerja yang sensitif
terhadap peran
kehidupan pekerja. Artinya memang terdapat hal kuat untuk memasukkan komitmen
non kerja (agama, sosial,
rekreasi, studi dll) terkait dengan kehidupan mereka dengan keluarga mereka. Karena untuk
melakukan suatu keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi para
pekerja itu memang hal yang penting.
Disarankan bahwa
aspek lingkungan kerja, terutama yang berkaitan dengan tuntutan pekerjaan
secara berkala ditinjau dan diawasi secara ketat untuk mempromosikan budaya
kerja yang mendukung pekerja dengan kebutuhan dan beragam dan tanggung jawab.
Terlepas dari jurnal tersebut sebagai contoh saja, Belanda yang berhasil
menjadi negara terbaik kedua dalam hal Work-Life Balance berdasarkan
studi yang dilakukan oleh OECD (Organisation of Economic Co-operation and
Development) pada tahun 2011. OECD mendefinisikan Work-Life Balance
dalam tiga variabel utama yaitu proporsi tenaga kerja yang memiliki jam kerja
sangat panjang (lebih dari lima puluh jam dalam seminggu), waktu yang digunakan
untuk aktivitas pribadi dan rekreasi dan tingkat ketenagakerjaan wanita yang
memiliki anak. Orang-orang Belanda bekerja sebanyak 1378 jam per tahun yang
merupakan angka terendah menurut OECD. Hebatnya, jam kerja yang rendah justru
tidak membatasi produktivitas orang-orang Belanda. Buktinya, pada bulan
Februari lalu Ilmuwan nano Leo Kouwenhoven berhasil mendeteksi partikel
majorana yang berhasil menimbulkan kegemparan di kalangan ilmuwan. Tidak hanya
itu, Spark dan Pal-V Europe NV selangkah lagi berhasil menciptakan mobil
terbang PAL-V, juga Profoser Mark van Loosdrecht, ilmuwan Belanda, yang
berhasil memenangkan Lee Kuan Yew Water Prize tahun ini atas penemuannya
mengenai metode untuk menghilangkan nitrogen dari air limbah. Inilah salah satu
bukti bahwa kualitas lebih penting daripada kuantitas. Bercermin pada hal
tersebut pemerintah Australia seharusnya memang lebih mengatur jam kerja
terhadap karyawannya terutama bagi kaum minoritas seperti muslim agar mampu
menyeimbangkan antara pekerjaan dengan keluarga tersebut. Karena kesinergisan
diantara keduanya diharapkan mampu mendorong pekerja untuk terus berkreasi dan
menciptakan inovasi-inovasi baru. Berbagai gangguan pekerjaan yang dihadapi
para pekerja terhadap kehidupan pribadi mereka inilah yang justru dapat
menyebabkan stres kerja. Stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang
menciptakan adanya ketidakseimbangan antara fisik dan psikis yang mempengaruhi
emosi, proses berpikir, dan kondisi seorang karyawan. Dalam mengatasi stres
kerja seperti ini perlu dilakukan beberapa pendekatan. Prof.Dr.Veithzal Rivai, M.B.A menjelaskan dalam bukunya Manajemen
Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan dari Teori ke Praktek bahwa
terdapat dua pendekatan stres kerja, yaitu pendekatan individu dan perusahaan.
Bagi individu penting dilakukan pendekatan karena stres dapat mempengaruhi
kehidupan, kesehatan, produktivitas, dan penghasilan. Dan dalam jurnal ini juga
sudah dibahas bahwa gangguan kerja dapat mempengaruhi ketidakpuasan mereka
terhadap perusahaan/organisasi itu sendiri. Bagi perusahaan bukan saja karena
alasan kemanusiaan, tetapi juga karena pengaruhnya terhadap prestasi semua
aspek dan efektivitas dari perusahaan secara keseluruhan. Perbedaan pendekatan
individu dengan pendekatan organisasi tidak dibedakan secara tegas, pengurangan
stres dapat dilakukan pada tingkat individu,organisasi maupun keduanya. Dalam
pendekatan individu itu meliputi peningkatan keimanan, melakukan meditasi dan
pernafasan, melakukan kegiatan olahraga, melakukan relaksasi, adanya dukungan
social dari teman-teman dan keluarga, serta menghindari kebiasaan rutin yang
membosankan. Namun terkait dengan pembahasan jurnal ini terkait dengan pria
muslim Australia, terdapat fakta yang paling utama bahwa peningkatan keimanan
memang sangat diperlukan. Perusahaan, dalam memaksimalkan sumber daya
manusianya dalam bidang keagamaan perlu memperhatikan fakta ini. Terkait dengan
tidak adanya pemeberian hari cuti resmi dari pemerintah terhadap Hari Raya Umat
Islam di Australia justru juga mengakibatkan tidak adanya toleransi dari
perusahaan tempat para pekerja bernanung. Ini tentu saja dapat menimbulkan
ketidakpuasan kerja kaitannya dengan religiusitas. Dan karena hal ini, dalam
mempertimbangkan keagamaan dalam pekerjaan memang penting bagi perusahaan agar
toleransi juga dapat dijunjung tinggi sehingga pekerja bias member kekuatan
komitmen mereka terhadap tempat mereka bekerja. Sedangkan dalam pendekatan
perusahaan meliputi melakukan perbaikan iklim organisasi, melakukan perbaikan
terhadap lingkungan fisik, menyediakan sarana olahraga, melakukan analisis
kejelasan tugas, meningkatkan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan,
melakukan restrukturisasi tugas, serta menerapkan konsep manajemen berdasarkan
sasaran. Semua pendekatan ini tentu saja bertujuan untuk menunjang peningkatan
dan kenyamanan kerja terhadap para karyawan yang merupakan asset utama bagi
perusahaan. Dengan tidak adanya diskriminasi terhadap kaum minoritas,
pengaturan waktu kerja yang sesuai, dan adanya penghargaan terhadap kehidupan
non kerja keharmonisan perusahaan akan lebih terjamin. Disinilah dibutuhkan
kewenangan yang sesuai dari bagian Human Resources Management dalam mendukung
karyawannya mencapai kepuasan kerja. Dalam buku tersebut juga menjelaskan bahwa
kepuasan kerja adalah bagaimana orang merasakan pekerjaan dan aspek-aspeknya.
Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersiat individual. Setiap
individu memiliki tingkat kepuasan kerja yang berbeda-beda sesuai dengan sistem
nilai yang berlaku pada dirinya. Ada beberapa alasan mengapa perusahaan harus
benar-benar memperhatikan kepuasan kerja yang dapat dikategorikan sesuai dengan
fokus karyawan perusahaan. Faktor pertama yaitu bahwa manusia berhak
diperlakukan dengan adil dan hormat, pandangan ini menurut perspektif
kemanusiaan. Kepuasan kerja merupakan kepuasan refleksi perlakuan yang baik.
Penting juga memperhatikan indicator emosional dan kesehatan psikologis. Yang
kedua adalah perspektif kemanfaatan, bahwa kepuasan kerja dapat menciptakan
perilaku yang mempengaruhi fungsi-fungsi prusahaan. Perbedaan kepuasan kerja
antara unit-unit organisasi dapat mendiagnosis potensi persoalan. Sedangkan
teori yang berkaitan dengan pembahasan inti jurnal ini adalah Teori Ketidaksesuaian. Teori ini
mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara sesuatu yang
seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Sehingga apabila kepuasan diperoleh
melebihi sesuatu yang diinginkan,maka orang akan menjadi lebih puas lagi,
sehingga terdapat discrepancy, tetapi
merupakan discrepancy positif.
Kepuasan kerja seseorang tergantung pada selisih antara sesuatu yang dianggap
akan didapatkan dengan apa yang dicapai. Dalam hal ini terkait dengan
pengalaman pria muslim Australia, dimana mereka mengalami discrepancy positif saat mereka merasakan kepuasan terhadap tempat
kerja mereka dan berkomitmen terhadap pekerjaan mereka, ketika mereka percaya
bahwa tempat kerja mereka memahami dan memperhatikan komitmen kehidupan mereka
khususnya yang berkaitan dengan agama. Namun dalam hal sesuatu yang harusnya
didapatkan oleh pekerja muslim Australia yang tidak sesuai kenyataan yaitu
tidak adanya pemberian libur hari raya umat Islam dari pemerintah yang tentu
saja ini mengakibatkan mereka tetap diforsir untuk bekerja walaupun di hari
besar agama mereka itu sendiri.
KESIMPULAN :
Kecenderungan untuk melihat pekerjaan
dan keluarga sebagai kedua hal yang terintegrasi mungkin lebih kuat pada pria Muslim Australia
karena keyakinan agama mereka. Karena pada ajaran Islam, seorang lelaki yang
berperan sebagai kepala keluarga tentu saja berkewajiban memberikan nafkah
lahir batin pada keluarganya. Penelitian ini didasarkan pada cross-sectional laporan dari data untuk meneliti pengalaman
peserta. Namun, karena kurangnya pengetahuan konseptual fokus studi ini
menarik, mengembangkan pemahaman awal adalah lebih tepat dan karenanya, laporan dari
data diri
digunakan. Selain itu, penelitian ini tidak menggunakan sampel acak. Karena menggambar sampel acak dari Muslim
Australia sangat sulit karena tidak ada daftar nama-nama yang dapat diandalkan.
Penelitian ini secara signifikan meningkatkan pemahaman kita tentang pengalaman
minoritas yang walaupun secara umum gangguan pekerjaan terhadap kehidupan pribadi
para pekerjanya bias saja dialami oleh berbagai kalangan pekerja.
Gangguan
pekerjaan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara kehidupan kerja dan
kehidupan pribadi yang berujung pada ketidakbahagiaan. Padahal,
ketidakseimbangan ini dapat memicu terganggunya kesehatan fisik dan mental.
Bahkan, hal ini dapat mengganggu kemampuan berkreativitas dan berinovatif yang
notabene merupakan aspek penting dalam meraih kesuksesan baik itu kesuksesan bagi kehidupan pribadi maupun
kontribusinya bagi perusahaan/tempat mereka bekerja. Jadi, Human Resource Management merupakan bagian
terpenting yang dituntut dan berwenang mengatasi masalah ini terkait kontribusi
para pekerja terhadap perusahaan mereka tersebut. Karena peranan dari manajemen
SDM adalah mempertemukan atau memadukan antara perusahaan, karyawan, dan
masyarakat luas, menuju tercapainya efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan
kinerja perusahaan. Dengan melalui penekanan pada pendekatan individu maupun
organisasi, saya rasa perlahan-lahan bisa menciptakan keseimbangan kehidupan
dan dunia pekerjaan. Maka dari itu temuan peneliti menggarisbawahi kebutuhan untuk
berpikir ulang mengenai efektivitas kebijakan yang dirancang untuk memfasilitasi
keseimbangan hidup dan kerja antara pekerja yang memiliki keyakinan budaya dan
agama yang berbeda dengan populasi umum.
DAFTAR PUSTAKA :
Rivai Veithzal.2004.Manajemen
Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan dari Teori ke Praktik. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada
0 komentar:
Posting Komentar