Pada dasarnya perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dapat diwakili oleh dua konsep, yaitu jenis kelamin (sex) dan gender.
Perbedaan jenis kelamin mengacu pada perbedaan fisik (perbedaan fungsi
reproduksi) sedangkan gender merupakan konstruksi sosio-kultural. Pada
prinsipnya, gender merupakan interpretasi kultural atas perbedaan jenis kelamin. Bagaimanapun, gender memang berkaitan
dengan perbedaan jenis kelamin namun tidak identik, dan juga tidak selalu berhubungan dengan perbedaan fisiologis
seperti yang selama ini banyak dijumpai dalam masyarakat.
Menurut WHO
(2010) perbedaan gender dan sex adalah: “Sex” refers to the biological and
physiological characteristics that define men and women. “Gender” refers
to the socially constructed roles, behaviours, activities, and attributes that
a given society considers appropriate for men and women. (http://www.who.int/gender/whatisgender/en/). Dari definisi
yang dimaksud oleh WHO diatas, terlihat bahwa jenis kelamin (sex) adalah
perbedaan biologis dan fisiologis yang dapat membedakan laki-laki dan
perempuan.
Atau dengan kata lain, seks adalah perbedaan jenis kelamin yang telah ditentukan oleh
Tuhan (Kodrat Tuhan). Dengan demikian fungsinya tidak dapat diubah. Misalnya,
laki-laki dapat memproduksi sperma, serta memiliki penis dan
jakun. Perempuan dapat hamil, memiliki payudara serta alat
reproduksi seperti rahim dan vagina. Pembedaan berdasarkan ciri-ciri biologis
ini berlaku sejak manusia ada dan akan berlangsung sampai kapanpun, dimana pun,
dan berlaku bagi siapa pun, tanpa memandang suku, agama, rasa tau golongan.
Setiap laki-laki dewasa yang berasal dari Negara, Agama, atau suku apapun
memiliki penis dan jakun. Begitu juga dengan perempuan, semua perempuan dari
berbagai Negara, Agama atau suku apa pun memiliki rahim dan vagina.
Gender
yang berlaku dalam suatu masyarakat ditentukan oleh pandangan masyarakat
tentang hubungan antara laki-laki dan kelaki-lakian dan antara perempuan dan
keperempuanan. Pada umumnya, jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan gender
maskulin, sementara jenis kelamin perempuan berkaitan dengan gender feminin.
Akan tetapi, hubungan itu bukan merupakan korelasi absolut (Roger dalam
Susilastuti, 1993: 30). Gender lebih menitikberatkan pada konstruksi sosial yang
ditanamkan oleh masyarakat seperti peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang
suatu masyarakat tertentu dianggap tepat untuk pria dan wanita. WHO juga
menjelaskan bahwa “pria” dan “perempuan” adalah kategori jenis kelamin,
sementara “maskulin” dan “feminin” adalah kategori-kategori gender.
Menurut Mansour
Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial (2010:
8), Gender merupakan sebuah konsep dimana “..suatu sifat yang melekat pada kaum
laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural”.
Dari pengertian yang diajukan oleh Mansour, ada beberapa kata kunci yang patut
diperhatikan, yaitu: “Sifat”, “Konstruksi Sosial”, “Konstruksi Budaya”. Bisa
disimpulkan bahwa perbedaan antara kaum laki-laki dan perempuan bertumpu pada
ke3 kata kunci tersebut.
Berbeda dengan sex, gender tidak bersifat universal. Ia
bervariasi dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain dan dari waktu ke
waktu. Sekalipun demikian, ada dua elemen gender yang bersifat universal: 1)
Gender tidak identik dengan jenis kelamin; 2) Gender merupakan dasar dari
pembagian kerja di semua masyarakat (Gallery dalam Susilastuti, 1993: 30).
Gender memang tidak identik
dengan seks. Peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dapat
dipertukarkan atau dapat berganti sesuai dengan potensi dan kemampuan yang
dimiliki. Pembedaan peran dan tanggung jawab berdasarkan gender juga bukan sesuatu
yang berdasarkan kodrat Tuhan. Melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah yang
panjang. Misalnya, pandangan bahwa laki-laki itu lebih mengutamakan rasio dan
perempuan itu sebaliknya, lebih mengutamakan emosi daripada rasio. Pandangan
tersebut bukanlah ketentuan atau kodrat dari tuhan, melainkan sesuatu yang umum
ada di masyarakat. Pada kenyataannya, ada perempuan yang rasional dan ada pula
laki-laki yang emosional. Peran dan tanggung jawab tersebut dapat ditukar atau
diubah sesuai tempat, waktu dan kondisi lingkungan sosial. Dapat diambil
kesimpulan, bahwa seks itu bersifat kodrati (pemberian dari tuhan) dan tidak
dapat diubah, sedangkan gender berasal dari masyarakat dan dapat diubah
sewaktu-waktu.
Gender dapat beroperasi di masyarakat dalam jangka waktu
yang lama karena didukung oleh sistem kepercayaan gender (Gender belief
system). Sistem kepercayaan gender ini mengacu pada serangkaian kepercayaan
dan pendapat tentang laki-laki dan perempuan dan tentang kualitas maskulinitas
dan femininitas. Sistem ini mencakup stereotype perempuan dan laki-laki,
sikap terhadap peran dan tingkah laku yang cocok bagi laki-laki dan perempuan,
sikap terhadap individu yang dianggap berbeda secara signifikan dengan “pola
baku”.
Dengan kata lain, sistem kepercayaan gender itu mencakup
elemen deskriptif dan preskriptif, yaitu kepercayaan tentang ”bagaimana
sebenarnya laki-laki dan perempuan itu” dan pendapat tentang ”bagaimana
seharusnya laki-laki dan perempuan itu” (Deaux & Kite dalam Susilastuti,
1993:31). Sistem kepercayaan gender itu sebetulnya merupakan asumsi yang benar
sebagian, sekaligus salah sebagian.
Tidak dapat disangsikan lagi bahwa beberapa aspek stereotype
gender dan kepercayaan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan itu memang didasarkan pada realitas. Aspek-aspek ini sekaligus
merupakan pencerminan distribusi perempuan dan laki-laki ke dalam beberapa
peranan yang berbeda. Pada saat yang sama, tidak dapat diragukan lagi bahwa
kepercayaan orang bukanlah me-rupakan gambaran akurat suatu realitas karena ia
mengandung bias persepsi dan kesalahan interpretasi.
Secara
umum dapat dikatakan bahwa setiap kebudayaan mempunyai citra yang jelas tentang
bagaimana ”seharusnya” laki-laki dan perempuan itu. Penelitian Williams dan
Best (seperti dikutip oleh Deaux & Kite dalam Susilastuti, 1993: 31) yang
mencakup 30 negara menampilkan semacam konsensus tentang atribut laki-laki dan
perempuan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa sekalipun gender itu tidak
universal, akan tetapi “generalitas pankultural” itu ada. Pada umumnya
laki-laki dipandang sebagai lebih kuat dan lebih aktif, serta ditandai oleh
kebutuhan besar akan pencapaian, dominasi, otonomi dan agresi. Sebaliknya
perempuan dipandang sebagai lebih lemah dan kurang aktif, lebih menaruh
perhatian pada afiliasi, keinginan untuk mengasuh dan mengalah.
Dari kesimpulan di atas, timbul
pertanyaan :”Siapakah / Apakah yang menjadi agen (sumber belajar) bagi proses
sosialisasi peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan.” Jawabannya
adalah sebagai berikut:
1) Media
massa, seperti radio, televise,
buku, majalah, surat kabar,
dan internet. Contohnya: Film, sinetron atau sejenisnya banyak menggambarkan
perempuan tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tetapi memiliki peran
ganda, seperti wanita karir.
3) Budaya, seperti adat istiadat, mitos
dan dongeng.
Berikut adalah aplikasi atau contoh
perbandingan antara karakteristik jenis kelamin (seks) dan karakteristik
gender:
Sumber:
WHO, 2012 (http://www.who.int/gender/whatisgender/en/
Karaketistik Jenis Kelamin (Seks)
|
Karakteristik Gender
|
|
|
Sumber:
Fakih,
Mansour. 2010. Analisis Gender dan
Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Riyadi, Simon. 2014. Perbedaan Sex dan Gender. Universitas
Hasanudin.
0 komentar:
Posting Komentar