Bid…ayo mandi! Disuruh mandi saja kok malas amat!" bentak ibu Abid (7) seraya menyeret paksa anaknya yang sedang asyik bermain.
"Fatma…jangan dekati kompor itu! Bahaya, tahu!" Bentak ayah Fatma yang
memergoki putrinya (2) sedang mengutak-atik kompor minyak.
Ketika bocah kecil itu menangis mendengar bentakan ayahnya, sang ayah
malah kembali membentak, "Heh…diam!" Si kecil pun semakin ketakutan.
Membentak anak, sepertinya sudah menjadi kebiasaan sebagian orang tua.
Saat melihat anak melakukan kesalahan, atau ketidakpatuhan, orang tua
memang sering dibuat jengkel. Secara refleks, karena emosi, orang tua
sering bermaksud 'menasihati', tapi diucapkan dengan nada tinggi.
Kebiasaan ini juga lebih sering dilakukan oleh orang tua yang
temperamental. Pertanyaannya, efektifkah menasihati anak dengan
bentakan?
Tentu tidak, sebab kalau anak terlalu sering dibentak, maka ia bisa tumbuh menjadi pribadi yang minder, tertutup, bahkan pemberontak. Ia pun bisa menjadi temperamental dan meniru kebiasaan orang tuanya, suka membentak. Dalam Nikah edisi Juni 2006 sudah dibahas cara menasihati anak secara efektif (Menegur Perilaku, Menghargai Pelaku). Pada edisi kali ini, akan dipaparkan beberapa akibat bila anak terlalu sering menerima bentakan. Selain itu, akan dibahas pula bagaimana kiat menumbuhkan kepatuhan.
Tentu tidak, sebab kalau anak terlalu sering dibentak, maka ia bisa tumbuh menjadi pribadi yang minder, tertutup, bahkan pemberontak. Ia pun bisa menjadi temperamental dan meniru kebiasaan orang tuanya, suka membentak. Dalam Nikah edisi Juni 2006 sudah dibahas cara menasihati anak secara efektif (Menegur Perilaku, Menghargai Pelaku). Pada edisi kali ini, akan dipaparkan beberapa akibat bila anak terlalu sering menerima bentakan. Selain itu, akan dibahas pula bagaimana kiat menumbuhkan kepatuhan.
SALAH KAPRAH ORANG TUA
Seringkali orang tua baru bertindak ketika kesalahan telah dilakukan
oleh anak. Bukan mencegah, mengarahkan, dan membimbing sebelum kesalahan
terjadi. Seharusnya orang tua mempertimbangkan tingkat perkembangan
kejiwaan anak, sebelum membuat aturan. Jangan menyamakan anak dengan
orang dewasa. Orang tua hendaknya menyadari bahwa dunia anak jauh
berbeda dengan orang dewasa. Jadi, ketika menetapkan apakah perilaku
anak dinilai salah atau benar, patuh atau melanggar, jangan pernah
menggunakan tolok ukur orang dewasa. Harus diakui, orang tua yang habis
kesabarannya sering membentak dengan kata-kata yang keras bila anak-anak
menumpahkan susu di lantai, terlambat mandi, mengotori dinding dengan
kaki, atau membanting pintu. Sikap orang tua tersebut seperti polisi
menghadapi penjahat. Sebaliknya, orang tua sering lupa untuk memberikan
perhatian positif ketika anak mandi tepat waktu, menghabiskan susu dan
makanannya, serta memberesi mainannya. Padahal seharusnya, antara
perhatian positif dengan perhatian negatif harus seimbang.
PENGARUH TERHADAP ANAK
Anak-anak yang sering diberi perhatian negatif, apalagi dengan teguran
keras atau bentakan, akan mudah tertekan jiwanya. Kemungkinan ia bisa
berkembang menjadi anak yang:
- Minder
Bila anak selalu dicela dan dibentak, dan tak pernah menerima perhatian
positif saat ia melakukan kebaikan, maka ia bisa tumbuh menjadi pribadi
yang tidak percaya diri atau minder. Akan tertanam dalam jiwanya bahwa
ia hanyalah anak yang selalu melakukan kesalahan, tidak pernah bisa
berbuat kebaikan atau menyenangkan orang lain. Akibatnya, ia sering
ragu-ragu atau tidak percaya diri untuk melakukan atau mencoba sesuatu
karena takut salah. Misalnya, ia jadi tidak pede untuk mengaji atau
membaca Al-Quran, gara-gara orang tuanya selalu membentaknya bila
mendengar bacaannya salah.
-Cuek/ tidak peduli
Anak yang selalu dibentak juga bisa berkembang menjadi anak yang cuek
dan tidak peduli. Akibat sudah terlalu sering menerima bentakan, ia
malah jadi apatis, tidak peduli. Ia pun sering mengabaikan nasihat orang
tuanya. Mungkin saat dibentak atau dimarahi ia terlihat diam
mendengarkan, tapi sesungguhnya kata-kata orang tuanya hanya dia anggap
angin lalu. Masuk ke telinga kanan lalu keluar lewat telinga kiri.
- Tertutup
Orang tua yang temperamental dan suka membentak, tentu akan menakutkan
bagi anak. Ya, anak menjadi takut pada orang tuanya sendiri, sehingga ia
tumbuh menjadi pribadi yang tertutup. Ia tak pernah mau berbagi cerita
dengan orang tuanya. Buat apa berbagi kalau nanti ujung-ujungnya ia akan
disalahkan? Dengan demikian, komunikasi antara orang tua dan anak tidak
bisa berjalan lancar. Hal ini tentu berbahaya, karena bila menghadapi
masalah dan hanya disimpan sendiri, jiwa anak bisa sangat tertekan.
- Pemberontak/ penentang
Anak yang bersikap menentang bisa digolongkan dalam 3 tipe. Pertama,
tipe penentang aktif. Mereka menjadi anak yang keras kepala, suka
membantah dan membangkang apa saja kehendak orang tua. Mereka marah
karena merasa tidak dihargai oleh orang tua. Untuk melawan jelas tak
bisa, karena ia hanya seorang anak kecil. Maka ia pun berusaha menyakiti
hati orang tuanya. Ia akan senang bila melihat orang tuanya jengkel dan
marah karena ulahnya. Semakin bertambah emosi orang tua, semakin
senanglah ia. Kedua, tipe penentang dengan cara halus. Anak-anak ini
jika diperintah memilih sikap diam, tapi tidak juga memenuhi perintah.
Sebagaimana Abid yang disuruh mandi oleh ibunya, tapi tak juga mau
beranjak dari tempatnya bermain. Saat ia ditinggalkan sendiri di kamar
mandi pun, ia tidak segera mandi, malah bermain air atau kapal-kapalan.
Ketiga, tipe selalu terlambat. Anak seperti ini baru mengerjakan suatu
perintah setelah terlebih dahulu melihat orang tuanya jengkel, marah,
dan mengomel atau membentak-bentak karena kemalasannya.. Misalnya Angga
yang belum mau beranjak dari tempat tidurnya bila belum dibentak atau
diomeli ibunya.
- Pemarah, temperamental dan suka membentak
Anak sering meniru sikap orang tuanya. Bila orang tua suka marah atau
'main bentak' karena sebab-sebab sepele, maka anak pun bisa berbuat hal
yang sama. Jangan heran bila anak yang diperlakukan demikian, akan
berlaku seperti itu terhadap adiknya atau teman-temannya.
BAGAIMANA MENUMBUHKAN KEPATUHAN?
Setelah jelas bila bentakan tidak efektif untuk menumbuhkan kepatuhan,
bahkan berpengaruh negatif bagi kepribadian anak, lalu bagaimanakah cara
yang baik untuk menumbuhkan kepatuhan?
- Beri penjelasan pada anak
Jelaskan pada anak dengan bahasa yang ia mengerti, mengapa suatu hal
diperintahkan dan hal lain dilarang. Jangan sekali-sekali memberi
keterangan dusta dalam hal ini.
- Perintahkan sebatas kemampuannya
Perintah di luar kesanggupan dan kemampuan anak justru bisa menyebabkan
krisis syaraf (neurotic) dan buruk perangai. Ada pepatah mengatakan,
"Jika engkau ingin ditaati, maka perintahkanlah apa yang dapat
dipenuhi." Sebaiknya perintah itu dibagi-bagi dan tuntutan
pelaksanaannya pun bertahap. Untuk mengetahui sampai di mana batas
kemampuan anak sesuai perkembangan usianya, diperlukan pengetahuan
tersendiri. Sebaiknya orang tua memahami perkembangan anak ini.
- Tidak berdusta atau menakut-nakuti
Kadang orang tua mengatakan akan membelikan ini atau itu jika anak
mematuhi perintahnya, tapi ternyata setelah anak patuh, orang tua tidak
menepati janjinya. Itu berarti orang tua berdusta, dan bisa jadi anak
tidak akan percaya lagi pada orang tuanya. Kedustaan seperti ini harus
dihindari. Selain itu, orang tua juga sering menakut-nakuti anak dengan
sesuatu yang seharusnya berguna baginya. Itu dilakukan karena ingin
anaknya segera memenuhi perintah mereka. Misalnya menakut-nakuti anak
dengan dokter, suntikan dan sebagainya. Ketakutan anak pada hal-hal
tersebut bisa terbawa hingga ia dewasa.
- Jangan bertentangan dengan naluri anak
Gharizah atau naluri adalah kekuatan terpendam dalam diri manusia yang
mendorongnya untuk melakukan beberapa pekerjaan tanpa berlatih terlebih
dahulu. Janganlah orang tua melarang anak bermain, atau membongkar dan
memasang sesuatu. Jangan pula melanggar kebiasaan anak kalau tidak ingin
mereka menggunakan jerit tangis sebagai senjatanya. Lebih baik gharizah
itu diarahkan sedemikian rupa sehingga anak bisa mengatur dirinya
sendiri. Misalkan diberi perintah, "TPA nanti mulai ba'da asar lho,
sekarang kan udah setengah tiga. Adik udah aja ya mainnya, dilanjutin
besok aja, sekarang mandi dulu, kan udah mau adzan…". Ungkapan itu tidak
melarang anak bermain, dan tidak melanggar kebiasaan mereka bermain di
tengah hari. Pemberian 'masa terbatas' ini dimaksudkan agar anak bisa
mengatur jadwal kegiatannya sendiri, dan akan sangat menolong untuk
melatih anak disiplin waktu. Selain itu mereka merasa dianggap mampu
untuk mengatur dirinya sendiri tanpa harus didikte begini dan begitu.
source : forum detik
0 komentar:
Posting Komentar